29 Juli 2009 RI bakal kuasai pasar seluler Asean

Tarif murah menjadi senjata utama operator

Oleh Fita Indah Maulani
Bisnis Indonesia

Jakarta: Indonesia diprediksi mendominasi pasar seluler di Asia Tenggara 2 tahun ke depan, di atas Vietnam dan Singapura, mengingat pasar telekomunikasi di Tanah Air masih terbuka lebar.

“Pasar layanan nirkabel di Indonesia sangat kompetitif dan di tahun ini saja pendapatan rata-rata per pelanggan [average revenue per user/ARPU] akan tertekan 10% - 20%,” ujar anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi kepada Bisnis, kemarin.

Persaigan juga terlihat dari tingkat kartu hangus (churn rate) yang sangat tinggi yaitu mencapai 7%-10% dalam sebulan yang mengindikasikan pelanggan bebas bergerak memilih operator yang dikehendaki, yaitu yang memberikan layanan lebih baik dan tarif lebih murah.

Uniknya, lanjut Heru, margin EBITDA (earnings before interest, tax, depreciation, and amortization) yang sangat tinggi masih tetap dipertahankan operator karena meski ada penurunan tetapi tidak besar.

Margin yang besar dipicu oleh beragamnya value added service, layanan Internet, dan belum adanya pengaturan soal tarif sehingga peluang margin besar tetap terbuka.

“Bayangkan, untuk SMS premium saja kan harganya 20 kali atau 2.000% tarif SMS biasa yang hanya Rp100,” tuturnya.

Heru mengatakan rata-rata EBITDA operator seluler tahun ini diperkirakan masih menyentuh angka 47,7% dengan sumbangan terbesar dari tiga operator, yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL.

“Pertumbuhan pendapatan juga masih dua digit, sekitar 11% untuk industri keseluruhan. Angka ini cukup optimistis, mungkin akan ada sedikir koreksi.”

Berdasarkan data dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, nilai bisnis industri telekomunikasi tahun lalu mencapai Rp92,5 triliun dengan tingkat pertumbuhan sekitar 15% dalam 3 tahun terakhir.

Nilai tersebut belum termasuk belanja modal peralatan di industri tersebut yang mencapai US$7 miliar –US$8 miliar. Nilai bisnis telekomunikasi sebesar Rp92,5 triliun tersebut merupakan pendapatan seluruh operator telekomunikasi tahun lalu, yang tumbuh 21-22% dibandingkan dengan 2007.

Kadin juga mengungkapkan jumlah pelanggan telekomunikasi pada 2008 mencapai 133 juta orang, naik 36,5% dibandingkan dengan 2007. Pada tahun ini, pelanggan telekomunikasi diprediksi mencapai 156 juta – 162 juta.

Menurut catatan Bisnis, hingga Maret 2009 jumlah pelanggan yang diklaim oleh 11 operator sudah mencapai 166 juta nomor.

Tarif bawah
Terkait dengan pertumbuhan industri telekomunikasi yang menurun berdasarkan laporan keuangan sejumlah operator awal tahun ini, Asosiasi Pengusaha Nasional Telekomunikasi (Apnatel) mendesak regulator untuk menetapkan tarif batas bawah agar tidak memberatkan industri.

“Turunnya tarif yang terkesan jor-joran tersebut tidak sehat bagi industri dan menjadi harga-harga lainnya menjadi sangat rendah, sehingga tidak mencukupi untuk memperbaiki kualitas dan memperluas layanan,” demikian pernyataan resmi Apnatel, kemarin.

Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengatakan perang tarif yang terjadi saat ini bukan karena tidak adanya tarif batas bawah seperti perkiraan beberapa pihak, melainkan merupakan dampak dari peningkatan biaya operasional yang sudah tidak bisa lagi dikejar oleh pendapatan perusahaan, kecuali dilakukan cara berbeda.

“Akhirnya operator beradu beda, salah satu yang paling mudah adalah tarif. Tarif hanya boleh satu arah, yaitu turun,” ujranya.

Dia menyarankan diperlukannya stimulus untuk menurunkan biaya agar selisih pengeluaran dengan pendapatan bisa berimbang. Segala biaya perlu diturunkan, mulai dari biaya operasional yang harus lebih efisien.

Operator juga meminta vendor untuk menurunkan harga agar belanja modal bisa lebih rendah. Bantuan pemerintah diperlukan untuk mengurangi biaya pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), restribusi, dan pungutan resmi lainnya.

“Pihak kepolisian juga harus membantu mengurangi segala jenis pungutan yang tidak sesuai dengan aturan,” ujarnya. (ARIF PITOYO) (fita.indah@bisnis.co.id)

0 komentar: