19 September 2009 Bukan Lagi Kompetisi Kuantitas

Oleh Sarwoto Atmosutarno
---------------------------
Ketua Umum Asosiasi
Telekomunikasi Seluler
Indonesia


Koran Jakarta (17/09/2009) - Munas Asosiasi Telekomunikasi Indonesia (ATSI) pada Agustus lalu telah memilih Sarwoto Atmosutarno menjadi ketua umum periode 2009-2011 menggantikan Merza Fachys.

Sarwoto yang lama bergelut mengembangkan infrastruktur milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) juga menjadi orang nomor satu di anak usaha milik operator pelat merah itu, Telkomsel, sejak akhir tahun ini.

Sejumlah jabatan juga dipegang pria yang pernah bercita-cita menjadi tentara ini, seperti Sekjen Asosiasi Kliring Trafik Telekomunikasi (Askitel) dan Wakil Ketua Bidang Telekomunikasi Kadin.

Lantas apa yang ingin ditawarkan pria yang terkenal sebagai salah satu pakar satelit di Indonesia itu bagi industri seluler? Wartawan Koran Jakarta, Doni Ismanto, mewawancarainya akhir pekan lalu. Berikut petikannya.

Pertama, ATSI akan membuat roadmap industri dan teknologi menyambut era konvergensi yang disalurkan melalui Kadin untuk diserahkan ke Presiden sebelum pemerintah baru efektif berjalan. Kedua, mengaji hal-hal yang menjadi kepentingan bersama seperti interkoneksi, penggunaan simbox yang membuat panggilan dari luar negeri disalurkan tidak melalui jalur interkoneksi, BHP frekuensi, menara, dan lainnya.

Lalu bagaimana pandangan ATSI tentang konvergensi?
Konvergensi itu tidak hanya terjadi di level layanan seperti telekomunikasi, informasi, dan penyiaran, tetapi juga di infrastruktur antara mobile dan fixed. Motornya konvergensi ini adalah telekomunikasi karena akan menjadi backbone. Dua hingga empat tahun ini akan ada konsolidasi sebagai entitas atau infrastruktur agar konvergensi mulus sehingga pelaku industri dan pelanggan tidak dikecewakan.

Bagaimana Anda melihat kompetisi saat ini?
Kami ingin membawa kompetisi ke arah kualitas layanan bukan lagi kuantitas. Di sektor ini ada tiga syarat untuk memenangkan kompoetisi. Jangkauan luas, pelanggan, dan kapasitas besar. Jika tiga hal ini tercapai semua bisa menjadi orang nomor satu di operator. Nah, untuk menuju ke arah itu, ada baiknya operator mulai bermain di kualitas layanan, bermain di kuantitas itu hanya membuat kinerja keuangan berdarah-darah.

Bicara kompetisi, banyak kalangan khawatir Anda akan menyalahgunakan ATSI sebagai corong Telkomsel. Tanggapan Anda?
Saya selalu menegaskan Telkomsel itu tidak mau sendirian di pasar atau menjadi monopoli by the market, itu tidak bagus. Industri ini bukan seperti jualan mobil, masing-masing toko berjualan produk dan tidak ada interkoneksi.

Di telekomunikasi itu, produk boleh berbeda dijual, tetapi di tengah ada interkoneksi, nah, lima tahun lagi penetrasi di Indonesia akan mencapai 100 persen. Jika sudah seperti ini kita akan bicara new services dan berbagi infrastruktur. Karena itu saya bilang akan ada konsolidasi di level akses dan transpor.

Harapan Anda kepada regulator?
Berikanlah kami peluang untuk melakukan self regulation dan kaji kembali pola pemberian lisensi. Industri ini ke depan banyak bicara business to business (B2B). Self regulation itu bagian dari insentif. Selama ini regulasi yang keluar selalu pro rakyat dan negara. Self regulation itu tidak menakutkan dan mengurangi wewenang regulator. Masalah lisensi, sudah terbukti mengumbarnya tidak baik. Hanya menjadi industri ini bloody competition.

Saat ini pemerintah daerah mulai melirik sektor telekomunikasi sebagai tambang berlian, misal melalui RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang akan menarik retribusi untuk menara. Bagaimana asosiasi menanggapi hal itu?
Kita bisa dipahami kalau pemerintah daerah ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, untuk beberapa hal baiknya berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Contoh, untuk retribusi menara.

Saya rasa untuk formulasi tarifnya harus ditetapkan oleh pemerintah pusat (Depkominfo), karena lembaga inilah yang mengetahui struktur biaya operator dan industri secara holistik. Jika ini tidak dilakukan, Pemda akan mengedepankan kepentingan sendiri sehingga prinsip transportasi, kepastian usaha, dan manfaat tidak tercapai, ujung-ujungnya akan menghambat investasi di masa depan. ■

0 komentar: