30 September 2009 Retribusi Daerah, Pebisnis Minta Biaya Siluman Dihapuskan

Menara Jadi Ladang Uang Baru

Koran Jakarta (29/09/2009) – Setelah terus dirubuhkan di berbagai daerah, menara telekomunikasi bakal dikenakan retribusi. Operator pun bakam membebankan biaya tambahan itu pada pelanggan.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), pada Agustus lalu, menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadia undang-undang sebagai pengganti dari UU Nomor 18/1987 dan UU Nomor 34/2000.

Menurut Departemen Keuangan (Depkeu) sebagai inisiator dari RUU itu, regulasi tersebut sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal. Pada regulasi tersebut, terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara pusat dan daerah.

Regulasi yang mulai berlaku pada 1 Januari 2010 tersebut memiliki tujuan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi, meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan, serta memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaharapkan kehadiran UU baru tersebut dapat memperbaiki tiga hal. Pertama, penyempurnaan sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Kedua, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan. Ketiga, peningkatan keefektifan pengawasan.

“Ketiga hal tersebut dapat berjalan secara bersamaan sehingga upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dilakukan dengan tetap sesuai dan konsisten terhadap prinsip-prinsip perpajakan yang baik dan tepat. Serta diperkenankan sanksi apabila terjadi pelanggaran,” kata dia seusai pengesahan UU tersebut.

Bagi pelaku usaha di industri telekomunikasi, khususnya operator yang membutuhkan infrastruktur, regulasi baru ini justru mengagetkan.

Pasalnya, salah satu butir di regulasi tersebut mengatur masalah retribusi untuk menara telekomunikasi di suatu daerah.

Menara selama ini merupakan aset yang membutuhkan investasi lumayan besar dari operator, khususnya terkait pemeliharaan dan akuisisi site.

Dalam regulasi tersebut secara tegas disebutkan pengenaan retribusi pengendalian menara telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembangunan dan pemeliharaan menara telekomunikasi.

Regulasi tersebut meyakini adanya pengendalian untuk keberadaan menara telekomunikasi akan memenuhi aspek tata ruang, keamanan dan keselamatan, keindahan, sekaligus memberikan kepastian bagi pengusaha.

Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melampaui dua persen dari Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.

Kalangan pelaku usaha telekomunikasi pun mengambil sikap realitis dengan dimasukkannya masalah retribusi menara ke UU PDRD.

“Jika sudah diatur dalam bantuk UU, kita sebagai pelaku usaha hanya bisa beradaptasi. Harapan kami, peraturan pelaksana (PP) dibuat berkoordinasi dengan pelaku usaha dan departemen teknis yang mengurus industri telekomunikasi,” ujar Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno.

Sarwoto memahami kehadiran UU PDRD sebagai uapaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, untuk retribusi menara, koordinasi yang baik dengan pemerintah pusat tetap dibutuhkan, terutama formulasi tarif.

“Depkominfo sebagai departemen teknis harus menetapkan formula tarifnya karena lembaga ini yang paling mengetahui kondisi di lapangan sektor telekomunikasi. Jika pemerintah daerah menetapkan secara sendiri-sendiri, bisa akan muncul ego daerah,” kata dia.

Sarwoto meminta penetapan formulasi harus mengedepankan prinsip transparansi, kepastian usaha, dan manfaat. Jika tiga hal itu tidak dipegang, dikhawatirkan bisa berujung pada terhambatnya investasi dimasa depan.

Ketua Umum Asosiasi Pengembangan Infrastruktur Menara Telekomunikasi (Aspimtel) Sakti Wahyu Trenggono mengingatkan masalah retribusi harus dikaji dengan benar agar tidak terjadi ekonomi biaya tinggi yang berujung beban konsumen.

“Kami juga meminta jika retribusi diterapkan maka harus dihapus biaya-biaya siluman,” tegas dia.

Beban ke Pelanggan
Chief Marketing Officer Indosat Guntur S Siboro menegaskan operator akan membebankan retribusi menara yang ditarik pemda kepada pelanggan.

“Apabila benar pemda memungut retribusi sendiri-sendiri dengan besar yang beragam di setiap daerah, industri akan kacau karena operator akan langsung merombak perencanaan bisnis secara besar-besaran,” ujar dia.

Menurut Guntur, selain membebankan pungutan menara ke pelanggan, operator akan menerapkan tarif yang berbeda-beda di setiap daerah. Hal tersebut sudah mulai diterapkan di sejumlah operator seluler, terutama pada penerapan tarif promosi.

Direktur Utama XL Hasnul Suhaimi mengkhawatirkan, jika menara dikenakan retribusi, akan berpengaruh pada ekspansi layanan operator karena banyaknya beban yang dikeluarkan untuk membangun infrastruktur.

“Masalah menara ini sudah banyak sekali faktor non teknis. Kalau begini terus, bisa jadi operator hanya bertahan dengan jumlah yang ada. Akhirnya berpengaruh pada kualitas layanan.”

Sementara itu, Direktur Korporasi Bakrie Telecom Rakhmat Junaedi meminta kejelasan jenis retribusi yang akan diambil dari menara. “Setahu saya, retribusi itu ada jika pemerintah daerah memberikan layanan. Nah, ini harus jelas dulu jenis-jenis retribusinya,” kata dia.

Rakhmat meminta, jika retribusi telah dipungut, ada jaminan dari pemerintah daerah untuk memberikan kepastian dan kenyamanan berusaha bagi operator di daerahnya.

“Bagi kami, yang penting berusaha tidak diganggu. Harus diingat, sektor ini signifikan membantu pertumbuhan ekonomi,” tandas dia. ■ dni/E-2

0 komentar: