28 September 2009 Saat telekomunikasi terkotak-kotak

Penambahan lisensi picu konflik interkoneksi

Oleh Fita Indah Maulani & Roni Yunianto
Wartawan Bisnis Indonesia

Peristiwa bersejarah pada 27 September 1945 yang menggelorakan semangat nasionalisme saat Jawatan PTT (cikal bakal PT Telkom) berhasil direbut pejuang Indonesia dari tentara Jepang seakan tak berbekas lagi saat ini.

Semangat nasionalisme yang dibangun sejak 64 tahun lalu telah terkikis oleh maraknya investasi asing di sektor tersebut. Telekomunikasi juga telah terkotak-kotak, karena penguasa daerah seakan telah menjadi raja kecil di wilayahnya. Pengotakan itu dipicu oleh pengesahan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang sudah disetujui DPR akhir Agustus.

Dalam UU tersebut terselit aturan yang membolehkan pemda menarik pungutan menara telekomunikasi dengan besaran yang tidak diatur oleh pemerintah pusat.

Artinya, manajemen tarif dari operator telekomunikasi tentunya akan mengikuti besaran pungutan atau retribusi yang dibebankan pemkab kepadanya sehingga tarif disatu kabupaten dengan kabupaten lainnya akan berlainan meski dengan operator yang sama.

Belum lagi banyak pemda yang menelorkan aturan sendiri-sendiri seputar penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Selain penentuan titik menara telekomunikasi oleh pemkab setempat, operator juga seakan dipaksa menjadi konsumen dari penyedia menara yang ditunjuk oleh masing-masing pemkab.

Bisa jadi, pada suatu saat nanti, bukan hanya penyelenggaraan menara telekomunikasi yang dimonopoli pemda, melainkan juga penggelaran serat optik, pengaturan frekuensi, dan penggelaran base transceiver station (BTS) teknologi lainnya, seperti WiMax, dan lainnya.

Sinyal menaikkan tarif telekomunikasi sudah dilontarkan operator telekomunikasi. Operator akan membebankan kenaikan beban operasional tambahan ke konsumen sehingga masyarakat juga lah yang akan terkena imbas secara langsung dari pengotakan telekomunikasi itu.

Obral lisensi SLI
Pada Hari Telekomunikasi Indonesia yang diperingati kemarin, pekerjaan rumah lainnya yang menghadang institusi pasca-meleburnya Ditjen Postel nanti adalah seputar belum disusun blue print telekomunikasi nasional sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah selalu berubah secara mendadak.

Hal yang paling hangat adalah rencana penambahan lisensi SLI yang rencananya ditenderkan bulan depan. Hanya di Indonesia, lisensi diobral sedemikian rupa tanpa melihat akibatnya bagi industri.

Di tataran dunia, sejumlah negara maju seperti Jepang dan AS bahkan hanya memiliki satu prefiks untuk SLI. Pada 2007, sebelum pemenang tender SLI diketahui, Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar mengungkapkan pemerintah hanya akan memberikan satu lisensi lagi untuk SLI, mengacu pada negara lainnya yang umumnya memiliki tiga operator SLI.

Kini, setelah ternyata Bakrie Telecom yang memenangkan tender tersebut, pernyataan Basuki berbalik dan mengungkapkan bahwa pemerintah butuh satu lisensi lagi.

Kue layanan SLI makin lama memang makin mengecil. Penurunan nilai bisnis SLI menurut sejumlah kalangan mencapai 30% setiap tahun.

Chief Marketing Officer PT Indosat Tbk Guntur S. Siboro menegaskan tidak perlu ada pemain baru dalam SLI, mengingat kue yang tersedia sudah makin kecil.

Hal senada juga diungkapkan Dirut Telkom Rinaldi Firmansyah bahwa pemain yang ada sekarang sudah cukup untuk melayani SLI.

“Jika ditambah lagi, apa tidak kebanyakan? Selain itu, ada jaminan tidak jumlah operator akan terus sebanyak sekarang. Yang dikhawatirkan lisensi dibagi, tiba-tiba operatornya berkurang,” katanya.

Selain kue yang semakin kecil, penambahan lisensi SLI juga akan menambah persoalan seputar interkoneksi.
(ARIF PITOYO) (fita.indah@bisnis.co.id/roni.yunianto@bisnis.co.id)

0 komentar: