22 Oktober 2009 Telekomunikasi Seluler | Tarif Frekuensi Berbasis Pita Berlaku 2010

Pola Baru Optimalkan Pendapatan Negara

Koran Jakarta – Biaya hak penggunaan frekuensi berbasis pita akan mulai diberlakukan awal tahun depan. Selain bisa mengoptimalkan penggunaan frekuensi, pola baru ini diharapkan bisa meningkatkan pendapatan negara.

Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) akhirnya merealisasikan janjinya untuk mengubah tarikan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi bagi penyelenggara telekomunikasi seluler dan Fixed Wireless Access (FWA) dengan mebuka konsultasi publik dari white paper BHP berbasis pita mulai awal pekan ini.

Konsultasi publik itu adalah langkah yang dilakukan sebelum menyusun peraturan pemerintah (PP) perubahan selama pertengahan Oktober hingga November nanti. Setelah itu, pada Januari 2010, tarikan berbasis pita akan berlaku bagi parga penyelenggara bergerak seluler di frekuensi 850/900/1800 MHz dan FWA di spektrum 850 MHz. Guna memberikan konsolidasi bagi industri, masa transisi diberikan selama lima tahun.

BHP berbasis pita adalah penarikan biaya frekuensi radio berdasarkan lebar pita (bandwidth) untuk semua jenis izin penyelenggaraan. Sedangkan BHP berdasarkan Izin Stasiun Radio (ISR) mengandung arti bahwa besaran BHP frekuensi sangat bergantung pada jumlah pemancar stasiun radio.

“Penggunaan BHP berbasis ISR itu banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh operator sehingga pendapatan negara dari sumber daya alam terbatas (frekuensi) tidak optimal. Inilah alasan utama pola penarikannya diganti,” ungkap Kepala Pusat Informasi dan humas Depkominfo Gatot S Dewo Broto, Rabu (21/10).

Penerapan BHP berbasis ISR dinilai tidak mendorong terjadinya pemanfaatan frekuensi secara optimal karena lebar pita yang dialokasikan kepada penyelenggara tidak secara langsung mencerminakn BHP yang harus dibayar.

Tarif BHP berbasis ISR dianggap memerlukan pengendalian yang kompleks bagi regulator sehingga biaya manajemen spektrum menjadi tinggi.

Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan biaya pengelolaan spektrum frekuensi yang sebanding dengan manfaat ekonomi bagi penyelenggara dan mudah dalam pengawasannya. Jawabannya ada di pola penarikan berbasis pita lebar.

Hal ini karena frekuensi merupakan salah satu penyumbang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) terbesar setiap tahunya. Pada anggaran 2008, dari BHP frekuensi radio saja ditargetkan sebesar 4,61 triliun rupiah, dan untuk 2009 ditargetkan memperoleh 5,61 triliun rupiah.

Bagi operator sendiri, pembiayaan BHP dicatatkan sebagai operasional. Secara teori, bebannya tak lebih dari 10 persen total biaya operasional. Namun, praktik di lapangan, angkanya bisa mencapai 20 persen bagi operator kecil.

Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno mengatakan penarikan berbasis pita akan mendorong operator untuk efektif dan efisien dalam mengelola frekuensi karena berkaitan dengan pembayaran BHP ke negara.

“Tidak ada lagi namanya frekuensi dibiarkan menganggur. Jika itu yang terjadi, operatornya rugi karena BHP dibayar secara gelondongan.”

Jika BHP berbasis pita diimplementasikan, operator pun berharap tidak ada lagi perbedaan lisensi antara seluler dan FWA.

“Kalau sudah bayar BHP berbasis pita, mau dipakai untuk seluler atau FWA terserah operatornya. Soalnya yang dipakai adalah asas teknologi netral,” kata Presiden Direktur Excelcomindo (XL) Hasnul Suhaimi.

Minta Transisi
Jika operator besar menyambut gembira hadirnya BHP berbasis pita, tidak demikian dengan kaum medioker. Meskipun bisa menerima, operator dengan jumlah pelanggan belum dobel digit meminta adanya masa transisi.

“Operator setuju BHP berdasarkan pita, asal ada perlakuan adil untuk setiap pemain,” tegas Direktur Utama Mobile-8 Merza Fachys.

Usulan dari operator kecil adalah masa transisi selama 10 tahun dan pembayaran per MHz akan dicapai pada harga yang sama bagi semua operator dari yang paling kecil hingga yang paling besar setelah 10 tahun.

Semantara itu, operator penyelenggara jasa telepon tetap nirkabel (FWA) meminta tetap dipertahankannya pembeda pembebanan atas jenis layanan (FWA dan seluler) karena bagaimanapun penyelenggara mobile punya keleluasaan lebih.

“Masalah transisi saya rasa juga dibutuhkan. Tetapi butuh berapa lama, kita lihat dulu berapa besar rumusan pembebanan dari pemerintah,” kata Direktur Korporasi Bakrie Telecom Rakhmat Junaedi.

Jika BHP berbasis pita yang diimplementasikan, regulator pun diminta bijaksana dalam mematok harga frekuensi. Seperti saat tender penambahan frekuensi 3G sebesar 5 MHz belum lama ini.

“Harga yang digunakan adalah mengacu situasi makro dua tahun lalu. Ini kan berbeda sekali. Waktu itu tarif masih mahal. Kalau begini, operator yang sengsara,” tutur Ketua Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin Johnny Swandi Sjam. ■ dni/E-2

0 komentar: