05 November 2009 Penyadapan dongkrak churn rate

Setiap perangkat mobile memiliki fitur sadap

Oleh Fita Indah Maulani & Arif Pitoyo
Bisnis Indonesia

Jakarta: Tren penyadapan oleh penegak hukum akhir-akhir ini diprediksi menurunkan volume trafik percakapan dan meningkatkan churn rate (nomor hangus).

Hery Nugroho, praktisi telekomunikasi dari PT Bakrie Telecom, mengatakan perang tarif tak terhindarkan apabila tren tersebut juga makin meningkat.

“Menurunnya volume trafik secara otomatis bakal menurunkan ARPU [average revenue per user], sehingga operator bakal ramai-ramai mengakuisisi pelanggan baru,” tuturnya kemarin.

Menurut dia, meski pengguna telekomunikasi meng-encrypt secanggih apa pun peralatannya, penyidik penegak hukum cukup menempatkan demodulator yang ditanam di MSC (mobile switching center) operator telekomunikasi.

Sebaliknya, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai maraknya aksi peyadapan sekarang ini tidak akan berdampak pada penurunan trafik komunikasi suara, apalagi ternyata dari total kemunikasi suara saat ini sebanyak 99% merupakan informasi tidak penting, hanya 1% yang mengarah pada tindakan pelanggaran hukum seperti korupsi.

Rudi Rusdiah, Ketua Mastel, mengatakan penyedapan telepon sering kali dilakukan oleh operator telekomunikasi atas permintaan penegak hukum.

Biasanya, tambahnya, para penjahat seperti koruptor melakukan pembicaraan dengan nomor prepaid dan sering berganti nomor ataupun ponsel sehingga meningkatkan churn rate atau nomor hangus.

“Peraturan Pemerintah turunan UU ini yang sedang digodok sebaiknya lebih mematangkan dalam memberikan batasan mana dan apa saja yang bisa dilakukan proses penyadapan, tentu saja tanpa menghalangi proses pengumpulan barnang bukti demi penegakan hukum pada masyarakat,” ujarnya.

Dia menjelasakan PP tersebut harus segera diselesaikan sebelum UU Keterbukaan Informasi Publik di berlakukan sekitar 2 tahun hingga 3 tahun mendatang agar tidak terjadi pertentangan di antara kedua UU (UU ITE dan UU KIP).

Praktisi teknologi informasi Budi Raharjo menambahkan setiap produk perangkat telekomunikasi selalu memiliki fitur bisa disadap.

“Apabila tidak memiliki fitur tersebut justru tidak boleh masuk ke pasar. Dibuka atau tidaknya tergantung dari kebijakan setiap operator atas permintaan penegak hukum,” ujarnya.

Budi mengungkapkan selain membuka fitur tersebut, penyadapan juga bisa dilakukan dengan menempatkan alat tertentu di titik yang dilalui data suara.

Titik yang dimaksud bisa di sentral telekomunikasi, bisa di sepanjang jaringan operator, dan lainnya.

Memasang alat di ruang tertentu, katanya, tidak termasuk penyedapan lewat seluler, dan tidak bisa didapat suara yang jelas (termasuk ringbacktone yang disadap), tetapi hanya pembicaraan jarak jauh saja.

Jadi Acuan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) diharapkan bisa menjadi acuan bagi masyarakat, pejabat publik, dan aparat penegak hukum dalam melakukan penyadapan komunikasi suara melalui operator telekomunikasi.

Rudi melanjutkan di negara sekelas Australia pun untuk melakukan penyadapan melalui telepon seluler harus mengantongi izin tertulis dari aparat penegak hukum untuk bisa melakukan hal itu, agar tidak melanggar privasi seseorang.

“UU ITE juga harus mengatur apakah ke depannya penyidikan masalah perpajakan juga bisa dilakukan penyadapan seperti di beberapa negara maju,” ujarnya.

Setyanto P. Santosa, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), mengatakan UU ITE No.36/2009 seharusnya menjadi acuan dalam melakukan proses penyadapan lewat seluler sehingga tidak terjadi klaim seperti saat ini, di mana antara aparat penegak hukum saling menyadap. (fita.indah@bisnis.co.id/arif.pitoyo@bisnis.co.id)

0 komentar: