Pasar Korporasi Telematika yang Terlupakan


Oleh Dimitri Mahayanai
Chairperson Lembaga Riset
Telematika Sharing Vision
.

Operator seluler maupun penyelenggara jasa internet di Indonesia dewasa ini habis-habisan menggarap segmen pasar ritel. Pasar yang utama seolah-olah hanya ada dipasar ritel sehingga promosi sektor itu sepenuhnya dilakukan.

Padahal, mengacu data riset kombinasi dari Sharing Vision dan berbagai lembaga riset telematika global, potensi pasar korporasi (enterprise) sebenarnya tidak kalah mentereng. Beberapa bahkan unggul telak.

Survei yang kami lakukan pada Desember 2007 kepada 50 responden perusahaan menujukkan bahwa 88% dari mereka sudah berlangganan teknologi broadband dengan mayoritas anggaran (85%) diatas Rp 100 juta per bulan.
Tak cukup hanya itu. Sebanyak 92% responden bahkan mengaku mereka sekaligus berlangganan beberapa operator, dimana yang berlangganan dua operator mencapai 37%, tiga operator 30%, empat operator 20%, dan lima operator 13%.

Data lembaga riset global, Insight, pada 2006 menunjukkan 34% responden di sektor keuangan menganggarkan biaya layanan enterprise antara US$ 1juta dan US$ 50juta. Yang dibawah US$ 1 juta mencapai 52%.
Prediksi total anggaran untuk layanan korporasi pada tahun ini berkisar US$ 130 miliar atau naik 130% dari total anggaran tahun 2005 sebesar US$ 50 miliar (ChanelVision, 2007). Sebuah nominal yang luar biasa, bukan ?

Dengan demikian, garapan segmen ritel yang oll out saat ini belum tepat adanya. Ada segmen lain yang memiliki potensi pendapatan yang luar biasa sekalipun jumlah massa didalamnya relatif terbatas, yang harus diperhatikan.

Lima pendekatan
Pernyataannya kemudian adalah, bagaimana cara terbaik menggarap segmen korporasi di Indonesia ? Penulis mengusulkan lima pendekatan dalam menangani pasar tersebut.
Pertama merangkul komunitas/kustomer.

Ini berarti bahwa layanan yang ditawarkan adalah murni hasil diskusi dengan klien, bukan solusi tunggal yang langsung diberikan ketika agen pemasaran mendatangi kantor calon pelanggan, Kita bisa berkaca pada Procter & Gamble.

Perusahaan Customer good ini membangun situs khusus mencari masukan pengguna. Hasilnya ? ada 45% inisiatif produk baru yang diterima pasar, dan akhirnya mendorong portofolio merek naik dua lipat jadi US$ 22 miliar pada 2006.

Kedua, menawarkan pilihan layanan beragam yang berlandaskan self assessment sebuah perusahaan. Jadi, operator harus meneliti dulu teknologi, arsitektur, pola kerja sama, sistematika, hingga manfaat layanan existing.
Setelah itu, inventaris dan focuskan daftar kebutuhan. Selanjutnya, cari tahu konsideran klien dalam menggunakan layanan enterprise. Apakah mengutamakan teknologi, harga, aplikasi, atau malah service level agreement (SLA).

Satu yang tak kalah penting dalam penawaran layanan ini adalah memahani tren kebutuhan, dimana layanan berbasis telekomunikasi kini bertransformasi menjadi layanan bertumpu sistem teknologi informasi.
Jadi layanan konvensional seperti PSTN, Internet dan layanan data yang sebelumnya parsial akan berubah menjadi layanan tunggal yang sekaligus bisa dipadukan dengan call center atau local area network (LAN), misalnya.

Ketiga, menawarkan pola penarifan berdasarkan nilai layanan. Pembayaran skema cost plus (membayar biaya aktual plus margin) dan transactional pricing (bersifat flat) yang lazim digunakan sudah tidak relevan karena relatif tidak adil.

Maka, skema pembayaran berbasis nilai manfaat yang dirasakan perusahaan menjadi alternatif tawar yang harus dilakukan. Ingat, soal tarif selalu menjadi isu penting dipasar telematika segmen manapun di negeri ini.
Keempat, menempatkan sumber daya dengan kapabilitas dan kualitas tinggi dalam mengelola layanan ini.
Sebaiknya berkaca pada perusahaan piranti lunak, WiPro, yang menempatkan kader terbaik di layanan korporasi.

Dengan rata-rata sertifikasi SEI CMM level 5, maka klien korporasi perusahaan itu memiliki tingkat kepuasan tinggi, karena reduksi biaya operasional pengguna mencapai 35% dengan ketepatan jadwal waktu proyek 91%.

Last but not least, komitmen pada jaminan SLA yang jelas dan menerapkan asas saling menguntungkan dengan klien. Parameter SLA yang harus dijamin itu utamanya terkait kualitas layanan dan keandalan produk.

Juga tingkat ketersediaan layanan, toleransi kegagalan, hingga potensi kerugian. Tak ketinggalan klien harus diberi kepastian dalam prosedur pelayanan masalah sekaligus dengan waktu respons plus resolusi masalah.

Lima pendekatan itu sejatinya akan berjalan efektif bila ada perubahan paradigma, bahwa pasar korporasi adalah pasar yang tak kalah ‘bergairah’ dan seksi dengan pasar ritel. Soal ini, memang bukan pekerjaan mudah.

0 komentar: