Koran Jakarta - Kisah sukses layanan m-commerce beserta evolusinya sudah banyak terjadi di luar negeri. Negara dan operator yang sukses mengembangkan layanan tersebut adalah kenya (M-PESA), Afrika Selatan (WiZZIT), dan Filipina (Smart dan Globe).
Di Kenya, M-PESA meluncurkan layanan itu pada Maret dua tahun lalu dan telah digunakan oleh 50 persen populasinya sebagai alat pengiriman uang.
Di Filipina, Average Revenue Per User (ARPU) sebanyak 74 persen berasal dari pengguna mobile money ketimbang mereka yang murni menggunakan suara dan SMS. Tercatat, mereka yang unbanked menghabiskan pulsa 9,40 dollar AS per bulan, sementara non-pengguna 5,40 dollar AS per bulan.
“Di Indonesia, M-commerce yang benar-benar jalan adalah mobile banking. Layanan lainnya belum diminati,” ujar Wakil Direktur Utama Bidang Pemasaran Bakrie Telecom Erik Meijer, akhir pekan lalu.
Berdasarkan catatan, pelanggan mobile banking dari Indosat berjumlah tiga juta nomor dengan trafik per bulan berjumlah lima juta transaksi. Sedangkan XL sebanyak 500 ribu pelanggan.
Dalam menjalankan m-banking, operator bertindak sebagai enabler sehingga pendapatan hanya berasal dari recover cost transmisi SMS, akses ke sistem perbankan, dan aktivitas penagihan.
Layanan mobile money sendiri tergolong masih kecil peminatnya di Indonesia. Telkomsel memiliki 120 ribu pengguna, sementara XL untuk jasa remitansi hanya digunakan lima ribu pelanggan.
Menurut Erik, kurang berhasilnya m-commerce di Indonesia dikarenakan ekosistemnya belum benar atau belum ditemukan killer application untuk m-commerce.
Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengatakan jika pemerintah menginginkan m-commerce berkembang di Indonesia, hal yang harus dilakukan adalah mengakomodasi keinginan operator untuk bertindak layaknya lembaga keuangan.
“Regulasi keuangan di Indonesia tidak membuka kesempatan operator menjadi lembaga keuangan. Kita dipaksa bekerja sama dengan lembaga keuangan. Berbeda dengan di Filipina,” ungkap dia.
Kondisi tersebut, menurut Merza, membuat operator terbatas ruang geraknya sehingga lebih memilih menjadi alat transportasi trafik saja seperti di m-banking.
Hingga saat ini, di dunia terdapat tiga model bisnis mengembangkan m-money. Pertama, operator yang memimpin layanan didukung industri perbankan. Kedua, industri perbankan yang memimpin dengan dukungan operator. Dan ketiga, ada pihak independen yang menjadi perantara operator dengan perbankan.
Senada dengan Merza, Erik menyarankan langkah memberikan izin sebagai lembaga keuangan layak diberikan kepada operator agar tercipta ekosistem yang ideal.
“Soalnya industri perbankan belum tentu bisa dan mau mendukung mengembangkan jasa m-money,” tegasnya.
Sumber Pendapatan
M-money diperkirakan akan menjadi tren m-commerce di dunia ke depan. Jasa tersebut bisa membantu masyarakat yang tidak memiliki akses ke bank.
Ketua Bidang Luar Negeri Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Koesmarihati Koesnowarso mengatakan m-money bisa menjadi peluang bagi operator atau perbankan. Bagi operator, mobile money bisa menjadi sumber pendapatan baru.
Diprediksi jika operator mengenakan biaya 25 sen per transaksi dan pelanggan menggunakannya seminggu sekali, ada ekstra pendapatan bagi operator sebesar satu dollar AS per bulan.
Bagi perbankan, layanan itu bisa menghemat biaya operasional membangun kantor cabang baru dan menjadi lebih fokus melakukan penetrasi pasar.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi berpendapat kerja sama operator dengan industri perbankan merupakan kolaborasi yang saling menguntungkan karena masing-masing mempunyai keunggulan. Dan langkah tersebut lebih masuk akal dibandingkan jika operator mendesak mendapatkan izin menjadi lembaga keuangan karena dipastikan akan terbentur regulasi.
“Undang-undang yang mengatur secara jelas tidak memungkinkan operator menjadi lembang keuangan,” tandas dia. ■ dni/E-2
0 komentar:
Posting Komentar