26 November 2009 QoE jadi patokan kualitas layanan

Kecepatan akses jadi acuan pengukuran

Oleh Fita Indah Maulani
Bisnis Indoensia

Jakarta (24/11/2009): Regulator mulai tahun depan akan memberalukan quality of experience (QoE) atau pengelaman pelanggan untuk mengukur kualitas layanan data yang diberikan operator.

Pemberlakukan standar ukuran layanan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas layanan data saat ini.

Heru Sutadi, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), mengatakan pihaknya masih sangat prihatin dengan kualitas layanan data yang diterima para pengguna di Indonesia, sementara untuk suara dan pesan singkat sudah memenuhi standar minimal.

“Data wireless sangat unik sehingga pihaknya tidak menerapkan qualitiy of service [QoS], tapi melihatnya berdasarkan kualitas layanan yang diterima setiap konsumen. Mereka harus memperoleh kualitas yang sama dalam menggungakan data,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.

Dia menjelaskan regulator sangat prihatin dengan kualitas layanan data sepanjang tahun ini, tetapi pihaknya berharap akan terjadi perbaikan khususnya bagi layanan berbasis mobile broadband setelah PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk memperoleh tambahan frekuensi sebesar 5MHz.

Animo masyarkat menggunakan mobile broadband sangat tinggi sehingga operator yang menjual layanan berbasis teknologi ini seharusnya juga memperhatikan ketersediaan frekuensi untuk memberikan layanan berkualitas bagi pengguna.

Pemerintah saat ini menyusun peraturan menteri mengenai jasa Internet yang akan dijadikan landasan dalam penyususnan standar QoE yang didalamnya juga mengatu standar Internet teleponi untuk keperluan publik dan lainnya, termasuk pengukuran perangkat tagihan (tera billing).

Jadi referensi
“Besok QoE akan dijadikan referensi, tidak seperti iklan layanan data up to, sehingga kualitas tidak terjamin. Pengguna dijanjikan kecepatan hingga 1 Mnps (megabit per second), namun tidak pernah memperoleh layanan segitu,” ujarnya.

Dengan diberlakukannya QoE tahun depan, penyedia jasa minimal harus menyampaikan besaran bit rate kepada pengguna, termasuk kecepatan up load dan download. Bit rate nantinya akan dipakai sebagai acuan.

Pelanggan akan menerima bit rate (kecepatan akses) sesuai dengan jumlah dibayarkan dan wilayah penggunaannya dengan informasi yang transparan dari penyedia jasa. Jangan mengiklankan 21 Mbps, tetapi up to dan besaran tersebut sulit dicapai pelanggan.

“Permasalahannya, sekarang dari sisi operator belum semua wilayahnya siap memberikan layanan data sehingga masih menggunakan GPRS. Belum lagi, ada daerah yang sangat padat sehingga frekuensi tidak memenuhi, tetapi sang operator tetap jualan di sana,” ujarnya.

Heru mengibaratkan hal ini seperti sebuah bus yang sudah penuh namun terus dijejali penumpang. Hal ini bisa membuat kendaraan tersebut menjadi miring hingga terbalik.

Sementara itu, standar kualitas layanan suara dan pesan singkat sepanjang 2009 diprediksi telah memenuhi standar minimal, meskipun masi ada catatan yang sebenarnya bukan kesalahan operator sepenuhnya.

“Memang ada penurunan kualitas layanan di daerah seperti Padang, Jakarta, dan Jawa Barat akibat bencana. Belum lagi penebangan menara di Badung yang menyebabkan kualitas layanan turun drastis bahkan hingga blank spot,” ujarnya.

Dia menjelaskan sejauh ini standar minimal yang ada dalam ketentuan di peraturan menteri (PM) No. 10, 11, 12, 13, 14/2008 sudah terpenuhi oleh seluruh operator telekomunikasi.

Selama ini operator menerapkan sistem sharing (berbagi alokasi) kecepatan pada satu BTS (base transceiver station)-misalnya untuk 10 pelanggan, sehingga kapasitas riil akses data tidak sebesar yang tertera pada tawaran produk ke pelanggan. (fita.indah@bisnis.co.id)

0 komentar: