09 Juni 2009 Menakar saham telekomunikasi

Crossing Q-Tel di Indosat tak pengaruhi prospek

Oleh Arif Gunawan S.
Wartawan Bisnis Indonesia

Kenaikan saham dua emiten unggulan telekomunikasi rata-rata 25% dan 15% pada Maret dan April dinilai sebagai buah ekspektasi kebablasan. Manajemen kedua emiten mementahkan spekulasi pendorong kenaikan tersebut.

Kenaikan harga menyambut rilis kinerja PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Indosat Tbk (ISAT) per triwulan I/2009 tersebut segera termentahkan.

Pada Mei, harga saham kedua emiten tersebut serempak turun masing-masing sebesar 5,36% dan 5,1% di tengah kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) sebesar 11,26%.

Analis Citigroup Global Markets Lts Anand Ramachandran menilai kenaikan kedua saham emiten tersebut didorong spekulasi investor bahwa keduanya membukukan pertumbuhan pendapatan digit ganda tahun ini.

“Secara khusus kami yakin pasar memberi valuasi lebih tinggi pertumbuhan pendapatan 2009, dibandingkan dengan proyeksi perseroan tentang pertumbuhan digit tunggal dan yang terlihat dari kinerja triwulan I/2009.” Tuturnya dalam laporan riset per 7 April.

Kenaikan saham Indosat dan Telkom sebesar 38% dan 12% pada Maret, lanjutnya, merefleksikan ekspektasi labih bullish dari realitas. Berdasarkan kunjungan ke perseroan, kedua manajemen menyatakan pertumbuhan pendapatan 2009 masih terbatas.

Per triwulan satu 2009, Telkomsel dan Indosat masih menunjukkan pelemahan musiman, dengan pertumbuhan tahunan yang terbatas. Rata-rata pendapatan per menit masih tertekan sebesar 10% secara triwulan.

“Keduanya menilai ekspektasi pertumbuhan pendaptan digit ganda menghadapi tantangan berat tahun ini,” papar Anand.

Citigroup bersikap lebih hati-hati dibandingkan dengan pasar. Pertumbuhan pendapatan Indosat tahun ini diperkirakan sebesar 6,2% dengan laba bersih turun 22%, atau 12% di bawah konsensus pasar.

Di sisi lain, Telkom diperkirakan membukukan pertumbuhan konsolidasi sebesar 6,1% dengan pertumbuhan laba bersih 0,6% atau 7% di bawah konsensus.

Crossing saham
Kamis pekan lalu, saham ISAT menguat 1,94% atau Rp100 per saham ke level Rp5.250 mengiringi transaksi tutup sendiri (crossing) senilai Rp29 triliun akibat pengalihan kepemilikan Qatar Telecom QSC (Qtel).

Pada 4 Juni, terjadi penjualan saham seri B Indosat sebanyak 2,17 miliar dari Indonesia Communications Limited ke Indonesia Communications Pte Ltd (ICLS). Jumlah yang ditransaksikan ini merepresentasikan 39,6% kepemilikan di Indosat. Dampaknya, kepemilikan ICLS mencapai 65%.

Anand menyebutkan tidak ada perubahan signifikan pascaakuisisi Qatar Telecom terhadap mayoritas saham Indosat. Meski sempat mendorong kenaikan, gain yang mengiringi aksi Q-Tel tersebut berbalik menjadi loss pada akhir pekan sebesar Rp100 per saham.

“Ditambah dengan pernyataan bahwa Indosat tidak akan mengejar pasar pelanggan pascabayar, menunjukkan tidak ada gerakan agresif ke pasar pascamasuknya Q-Tel,” ujarnya.

Dia memaparkan manajemen Indosat menilai tidak ada alasan kuat perlunya konsolidasi industri seluler, dan tidak ada manfaat strategis dari partisipasi dalam setiap upaya konsolidasi.

Qtel mengakuisisi 40,81% saham Indosat atau 2,21 miliar saham senilai US$1,8 miliar dari Asia Mobile Holding Pte, yang mengendalikan Indosat melalui dua unit usahanya Indonesia Communications Pte Ltd dan Indonesia Communications Limited.

Sampai sekarang, Indosat memilih berhati-hati dalam ekspansi, dengan alokasi belanja modal senilai US$600 juta. Manajemen percaya iklim ekonomi masih belum pasti untuk bisa mencetak target pertumbuhan.

Anand menilai belanja modal yang lebih kecil dari 2008 senilai US$1 miliar itu merefleksikan posisi hati-hati Indosat. Menajemen akan mengevaluasi ulang angka tersebut pada triwulan kedua, bergantung pada tren permintaan.

“Manajemen Telkomsel berupaya mencari ruang menaikkan harga, dengan penyesuaian paket tarif baru secara selektif misalnya berdasarkan zona waktu,” papar Ananad.

Telkomsel memperkirakan margin EBITDA tahun ini melemah 200-300 basis poin (bp), sehingga margin EBITDA Telkom turun 200 bp. Tekanan berasal dari biaya frekuensi yang diduga naik menjadi Rp 3 triliun dari tahun lalu Rp2 triliun.

Belanja operasi dan pemeliharaan yang menyumbang 61% dari depresiasi belanja operasional, bernegosiasi dengan vendor terutama dari Uni Eropa untuk mendapat harga bersaing dan mengidentifikasi aktivitas pemeliharaan yang bisa dihalangkan tanpa mengorbankan kualitas. (arif.gunawan@bisnis.co.id)

0 komentar: