04 September 2009 Mahalkah biaya frekuensi di Indonesia ?

Oleh Setyardi Widodo
Wartawan Bisnis Indonesia

(03/09/2009) - Lelang frekuensi sering dikonotasikan dengan sesuatu yang mahal. Bisa dimaklumi karena proses lelang biasanya mengacu apa yang terjadi di Inggris pada tahun 2000.

Di Inggris, lelang frekuensi seluler 3G yang berlangsung hampir 2 bulan dalam hampir 100 putaran itu menghasilkan dana 22,5 miliar pound sterling (sekitar Rp360 triliun) bagi pemerintah setempat.

Setelah itu, lelang frekuensi digelar di banyak negara seiring mulai populernya layanan seluler generasi ketiga. Ada lelang yang sukses dan ada yang gagal.

Di Indonesia, lelang frekuensi 3G tahap pertama digelar pada 2006. Tahun ini, pemerintah kembali menggelar lelang 3G melalui beauty contest, yang menetapkan PT Telkomsel dan Indosat berhak mendapatkan tambahan 1 blok frekuensi 3G.

Hasil lelang menyatakan para operator seluler yang berhak atas lisensi 3G selebar 5 MHz harus membayar Rp160 miliar per tahun ditambah dengan up front fee (biaya dibayar di muka).

Operator yang sudah memegang lisesnsi sebelum lelang digelar juga dikenai kewajiban sebagaimana pemenang lelang.

Bulan lalu pemerintah juga menggelar lelang untuk Internet pita lebar nirkabel WiMax dan berhasil menetapkan harga 10 kali di atas harga penawaran awal.

Lelang 3G dan WiMax di Indonesia dianggap sukses dari sisi nilai yang berhasil dikumpulkan oleh pemerintah.

Ada dua pertanyaan umum yang selalu mengiringi setiap lelang frekuensi yang menghasilkan dana besar bagi pemerintah.

Pertanyaan pertama, apakah biaya frekuensi yang begitu besar membuat tarif layanan ke konsumen menjadi mahal?
Pertanyaan kedua, apakah setoran yang begitu besar tidak akan membuat operator telekomunikasi kelebihan beban atau bahkan bangkrut?

Menarik untuk menyimak apa yang ditulis Tim Harford dalam buku berjudul Detektif Ekonomi terkait dengan lelang frekuensi 3G di Inggris. Harford menyimpulkan bahwa biaya lisensi hasil lelang tidak berpengaruh terhadap tarif yang dibebankan konsumen.

Menurut dia, hal yang lebih dominan dalam menentukan tarif layanan adalah persaingan dan kuasa kelangkaan (the power of scarcity).

Dengan lima operator yang mendapat lisensi 3G dia berpendapat ada banyak pilihan bagi konsumen. Tidak ada kelangkaan layanan 3G di pasar, sehingga biaya frekuensi yang dibayarkan kepada pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap tarif ke konsumen.

Adapun mengenai kebangkrutan, Harford menyatakan sektor telekomunikasi memang menghadapi masalah yang berat sepanjang tahun 2000-2002 karena pasar saham yang sedang terpukul.

Namun, dia beralasan sebagian besar perusahaan yang mengalami masalah serius pada masa itu (seperti NTS dan Telewest) bukanlah pemenang lelang 3G.

Pemenang lisensi, misalnya Vodafone, kendati mengalami pukulan, tetaplah perkasa.

Jadi, menurut Harford, lelang dengan hasil mahal itu tidak menimbulkan beban tambahan untuk konsumen dan tidak menyebabkan operator telekomunikasi bangkrut.

Dalam kasus biaya frekuensi 3G di Indonesia, saya coba hitung-hitung secara sederhana.
Biaya Rp160 miliar per tahun setara dengan Rp13,3 miliar perbulan.

Artinya, jika operator memiliki 13,3 juta pelanggan 3G, maka biaya yang dibebankan kepada pelanggan dari biaya lisensi itu sebesar Rp1.000 per pelanggan. Ini nilai yang sangat kecil dibandingkan ARPU (Average revenue per user) operator 3G yang rata-rata masih diatas Rp30.000 per bulan.

Bahkan seandainya angka itu dikalikan dua menjadi Rp2.000, karena asumsinya operator itu mendapat alokasi 10 MHz atau jumlah pengguna 3G hanya setengah dari 13,3 juta nomor, nilainya tetap kurang dari 10% ARPU.

Kenyataan itu jauh dari asumsi bahwa biaya frekuensi 3G menaikkan tarif layanan atau membuat operator mapan menjadi berpotensi bangkrut.

Akan tetapi, kesimpulan bisa berbeda jika kita asumsikan jumlah pengguna 3G hanya 1 juta sambungan. Artinya, ada beban sebesar Rp13.300 per bulan yang harus ditanggung per sambungan.

Apakah beban itu akan ditimpakan kepada pengguna? Menimpakan kepada konsumen memang cara paling mudah. Akan tetapi, dalam kondisi seperti ini, kita bisa mangecu pada kesimpulan Tim Harford, yang menyatakan hal yang lebih menantukan tarif kepada konsumen adalah persaingan dan kelangkaan.

Dalam kasus ini kesimpulan Harford mengenai kebangkrutan mungkin tidak tepat. Bagi operator dengan jumlah pelanggan kecil, beban Rp160 miliar per tahun tentu berat.

BHP versi lama
Namun, ada hal menarik soal bayar-membayar frekuensi ini. Ternyata operator telekomunikasi dengan jaringan yang luas justru harus membayar biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi 2G dan CDMA lebih tinggi dibandingkan dengan biaya frekuensi 3G.

Mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Hery Nugroho menyatakan ada operator fixed wireless access (FWA) yang justru menanggung beban biaya frekuensi lebih besar daripada pemegang lisensi 3G untuk pita yang sama-sama 5 MHz.

“Secara teoretis, harga frekuensi FWA seharusnya jauh lebih murah darpada seluler GSM,” kata Hery yang kini bergabung dengan PT Bakrie Telecom Tbk.

Lalu mengapa operator FWA bisa membayar lebih mahal? Sebab, dalam pola perhitungan biaya frekuensi di luar lelang, ada beberapa faktor pengali seperti indeks bandwidth, indeks power, jumlah kanal, jumlah sektor, dan sebagainya. Akibatnya, harga akhir yang harus ditanggung operator 2G dan FWA bisa lebih mahal daripada biaya yang ditentukan dari lelang.

Ketentuan lama yang masih berlaku untuk jaringan 2G menuntut operator dengan jaringan dan infrastruktur paling luas menanggung biaya frekuensi yang mahal.

Telkomsel yang menjangkau 90% populasi, otomatis menanggung biaya sangat mahal. “Kira - kira Rp 2 triliun per tahun,” kata Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno.

Angka tersebut menunjukkan bahwa biaya frekuensi 2G yang ditanggung operator itu lebih dari 10 kali lipat di atas biaya frekuensi 3G.

Bagi operator besar, skema tarif hasil lelang dengan besaran flat merupakan penghematan dan insentif. Namun bagi operator kecil, ini merupakan beban yang bisa terasa sangat berat. Jadi, mahal dan murah memang relatif. (widodo@bisnis.co.id)

0 komentar: