20 Oktober 2009 ‘Besaran BHP pita harus adil’

Operator akan makin terpacu tambah BTS

Oleh Roni Yunianto
Bisnis Indonesia

Jakarta: Pola penghitungan biaya hak pengguna (BHP) frekuensi berbasis pita (bandwidth) akan menguntungkan operator bila penetapan besaran harganya sesuai dengan standar kemampuan operator.

Dimitri Mahayana, Peneliti Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung, mengatakan keuntungan dari pola hitung BHP yang baru itu harus dilihat dari standar besaran harganya.

“Jika besaran yang ditetapkan nantinya tinggi, operator kecil akan kolaps. Jika harganya rendah, operator besar tentu akan ‘pesta pora’,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.

Dimitri berharap besaran harga yang ditetapkan pemerintah akan adil, artinya sesuai dengan kemampuan operator mempertimbangkan kemampuan operator. Hal itu karena margin keuntungan operator di lapis kedua tidak besar, sementara Indonesia masih membutuhkan banyak operator untuk mengatasi kesenjangan digital.

“Operator di Indonesia kerap kehabisan bandwidth karena berapa pun bandwidth diberikan ke pasar selalu habis. Adapun frekuensi di wireless terbatas,” tutur Chairperson Sharing Vision, lembaga riset telematika tersebut.

Sidarta Sidik, Direktur Layanan Korporasi PT Hutchison CP Telekomunikasi (Tri), menuturkan kebijakan BHP pita dapat diterima operator selama mempertimbangkan asas keadilan dan kesetaraan terhadap nilai frekuensi di tiap-tiap alokasinya.

Dia memberikan contoh penerapannya sesuai dengan nilai ekonomis dari satu frekuensi. “Misalnya frekuensi GSM 900 MHz dikenakan besaran yang lebih mahal dari frekuensi 1800 MHz. Demikian pula 1800 MHz tarifnya dikenakan lebih mahal dibandingkan dengan frekuensi 3G,” paparnya.

Pemerintah telah memublikasikan pola baru tersebut dalam whitepaper untuk masuk ke tahap konsultasi publik hingga akhir bulan ini untuk merevisi aturan sebelumnya yaitu tarif berbasis izin stasiun radio atau base station transceiver (BTS) menjadi berbasis pita atau bandwidth.

Pola baru itu diklaim Depkominfo akan mendorong optimalisasi penggunaan frekuensi baik oleh operator seluler maupun fixed wireless access (FWA).

Fadzri Sentosa, Direktur wholesales & Infrastruktur PT Indosat Tbk, menilai pola baru itu akan memberikan kemudahan proses. Di satu sisi, katanya, kebijakan ini disambut baik oleh operator.

“Namun, di sisi lain kebijakan itu juga akan memberikan dampak biaya kepada setiap operator,” ujarnya kepada Bisnis.

Hasnul Suhaimi, Presiden Direktur PT Excelcomindo Pratama Tbk, berpendapat pola tersebut akan disambut baik operator. “Pola ini menyederhanakan prosedur penghitungan BHP,” ujarnya.

Berbasis IP
Seorang praktisi telekomunikasi di salah satu operator baru berpendapat ketentuan BHP pita itu sebagai kebijakan yang sensitif.

Menurut sumber Bisnis itu, BHP pita seharusnya lebih murah sehingga operator diuntungkan. Apalagi bagi operator dengan cakupan layanan lebih luas, karena BHP-nya menjadi lebih murah.

“BHP pita yang murah itu tidak lagi membedakan operator lama ataupun baru,” tuturnya.

Eksekutif tersebut mengatakan kebijakan searah dengan perkembangan teknologi ke basis protokol Internet (IP/Internet protocol) yang semakin murah.

“Operator lama dengan kapasitas existing akan beralih ke teknologi baru dan operator yang baru berkesempatan untuk membangun jaringan [BTS] dan cakupan layanan dengan lebih cepat,” tegasnya.

Dia memperkirakan tiga opeator baru minimal sudah memiliki lebih dari 50% sistem inti berbasis IP. Adapun, operator lama dan besar dari teknologi lama sudah meraih titik impas dan mengalokasikan belanja modalnya yang baru untuk beralih ke IP. (roni.yunianto@bisnis.co.id)

0 komentar: