16 November 2009 Infrastruktur jangan hanya mimpi

Sektor telekomunikasi butuh sentuhan pemerintah

Oleh Fita Indah Maulani
Wartawan Bisnis Indonesia

Tidak seperti di sektor transportasi, di mana infrastrukturnya hampir 100% dibangun oleh pemerintah, di sektor telekomunikasi pemerintah cenderung lepas tangan.

Dana universal service obligation (USO) yang katanya merupakan subsidi dari pemerintah pun sebenarnya berasal dari industri juga yang dipungut dari 1% pendapatan kotor pemerintah.

Padahal apabila diperinci lebih jauh, perputaran bisnis di sektor telekomunikasi dan teknologi informasi saja sudah mencapai lebih dari Rp100 triliun sehingga apabila pemerintah lebih aktif berinisiatif membangun, Departemen Komunikasi dan Informatika patut mendapatkan anggaran yang besar hingga dibutuhkan wakil menteri.

Direktur Eksekutif Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Eddy Thoyib mengungkapkan di negara lain pemerintah lah yang membangun backbone pita lebar sehingga industri tinggal menyewa melalui badan usaha yang ditunjuk pemerintah untuk mengelolanya.

Bali Statement yang ditandatangani para menteri di bidang telematika se-Asia Pasifik dengan fokus utama mengembangkan masyarakat berbasis teknologi broadband belum diikuti niat pemerintah Indonesia untuk turun tangan langsung mengembangkan infrastruktur.

Kesepakatan yang terangkum dalam deklarasi bersama Bali Statement di ajang Asia-Pasifik Telecommunity (APT) 2009 pekan lalu adalah mendorong pembentukan kerja sama regulatory, investasi, dan kompetisi dalam penyediaan layanan broadband.

“Pemerintah tetap sebagai fasilitator, tidak membangun infrstruktur, yang membangun adalah industri,” kata Kepala Pusat Informasi Depkominfo Gatot S Dewa Broto, pekan lalu.

Pemerintah lebih menyukai fokus dalam pengembangan Palapa Ring, di mana pemerintah juga tidak memiliki kontribusi apa pun, selain insentif berupa bebas bea masuk bagi perangkat telekomunikasi penunjang pembangunan jaringan serat optik tersebut.

Peningkatan kasta dari universal service obligation (USO) ke broadband service obligation (BSO) juga seakan hanya sekadar wacana, mengingat pemenang USO belum tentu mau mengembangkan perangkat broadband di daerah perdesaan yang belum tentu siap menerimanya.

Proyek USO
Sebagai aksi dari Bali Statement, pemerintah berencana mengembangkan dana USO untuk memperluas penggunaan broadband. Proyek USO nanti bukan hanya teleponi dasar atau Desa Berdering melainkan Desa Pinter yang menawarkan akses data Internet dangan teknologi broadband di kecamatan.

Menurut rencana, pengembangan ini akan dilakukan melalui ICT Fund yang dananya berasal dari sebagian dari USO. Namun, hal tersebut dimentahkan dengan ketentuan pemerintah yang hanya mengizinkan penggunaan dana USO untuk proyek telepon perdesaan.

Di sisi lain, pengembangan broadband tanpa mengembangkan budaya masyarakat perdesaan sebenarnya merupakan keniscayaan dan tidak masuk akal. Jangankan broadband, fasilitas telepon dasar pun belum tentu masyarakat mau menerimanya.

Berkacamata pada kegagalan proyek USO 2004-2005, maka sudah saatnya pemerintah berperan lebih dalam dan tidak hanya di kulit luarnya dengan mengandalkan swasta dalam meningkatkan teledensitas telekomunikasi di Indonesia.

Tentu saja masyarakat berbasis broadband ini akan tumbuh apabila pemerintah lebih proaktif dalam menyentuh budaya masyarakat di seluruh Indonesia atau pemerataan teknologi di seluruh nusantara hanya akan sebatas wacana. (K2/ARIF PITOYO) (fita.indah@bisnis.co.id)

0 komentar: