08 November 2009 Trik Menerobos Para Raksasa

Pasar telekomunikasi seluler di Indonesia didominasi lima pemain besar. Lantas, bagaimana strategi operator-operator kecil merebut pangsa pasar?

Oleh Purjono Agus Suhendro dan Afiff Maulana D.
Businessweek, 11 November 2009

Setelah tumbuh signifikan selama tujuh tahun pertama sejak 2000-an, kini pendapatan para operator telekomunikasi seluler nasional mengalami penurunan. Selain diakibatkan oleh bertambahnya jumlah pemain, penurunan itu juga disebabkan aksi perang tarif yang marak dalam tiga tahun terakhir.

Harus diakui, saat terjadi perang tarif, basis pasar memang menguat, tapi pendapatan yang dihasilkan justru menurun. Pada akhir 2008, misalnya, average revenue per user (ARPU) tercatat $5,64 atau yang terendah di dunia. Perang harga pun membawa dampak lain berupa naiknya curn rate (tingkat pindah operator) sebesar 11% tahun lalu, salah satu yang tertinggi didunia.

Karena itu, pendapatan seluruh operator seluler tahun ini diperkirakan hanya tumbuh 3% dengan nilai total Rp84 triliun. Dan, tidak dimungkiri bahwa yang mengeruk pertumbuhan itu sebagian besar adalah lima operator besar, yakni Telkomsel, Indosat, Excelcomindo, Telkom Flexi, dan Bakrie Telecom. Pemain lain seperti Three, Axis, Smart Telecom, Mobile-8, dan Sampoerna Telecom hanya mendapat jatah sebagian kecil.

Tetapi boleh jadi semua itu merupakan bagian dari evolusi industri telekomunikasi seluler, yang persaingannya difokuskan pada pengembangan jaringan. Pada saat jaringan semua operator sudah relatif sama, yang menjadi fokus akuisisi adalah tarif. Dan, jika tarif sudah berada di titik jenuh, arah persaingannya akan berpindah ke kualitas dan selanjutnya ke nilai tambah (value added service).

Kini, hampir semua operator telah menyadari bahwa perang tarif hanya menghasilkan “petaka”. Bukan saja pendapatan perusahaan yang menurun, pelanggan juga semakin bebas berpindah dari operator yang satu ke operator lainnya. Kondisi ini makin kentara tatkala pemain-pemain baru masuk dengan beragam penawaran menarik.

Pertanyaannya, mampukan pemain-pemain baru yang masih relatif kecil mendobrak dominasi operator-operator besar yang sudah eksis? Tampaknya butuh energi yang cukup besar untuk sekadar diakui oleh pelanggan seluler di Tanah Air. Jika tidak, pemain baru itu jelas akan mati sebelum pertandingannya semakin seru.

Lihatlah Mobile-8 Telecom, operator berbasis code division multiple access (CDMA) yang beridiri pada 2002, yang sempat mengikuti arus perang harga dan gagal. Pada 2008, operator merek Fren dan Hepi itu harus menelan kerugian Rp1,06 triliun. Pendapatan operasionalnya turun 17,07% dari tahun sebelumnya. Walau separuhnya berasal dari beban bunga 2007, kerugian tersebutlah yang membuat Mobile-8 sadar dan lari dari perang harga.

Lari bukan berarti menyerah. Hal itu dibuktikan Mobile-8 dengan meluncurkan merek Hepi di kategori CDMA fixed wireless access (FWA). Tapi lagi-lagi pasar tak menggubrisnya. Pada Juni 2009, pemasaran Hepi dihentikan. “Mungkin sebagian pelanggan Hepi adalah mereka yang pindah dari Fren,” ungkap Beydra Yendi, Sales & Marketing Director PT Mobile-8 Telecom Tbk. Sehingga disadari Fren-lah yang perlu diperbaiki, yang kemudian diikuti dengan peluncuran Fren Sobat dan Fren Duo. Fren Duo dihadirkan untuk menangkap fenomena konsumen yang menggunakan dua nomor (GSM dan CDMA).

Selain itu, Mobile-8 juga sedang giat menggenjot jumlah pelanggan di kategori layanan data berbasis EVDO Rev-A dengan merek Mobi. Hal yang sama ditempuh Smart Telecom. Operator dibawah Sinar Mas Group ini menyatakan serius menggarap pasar layanan data. Ini juga menandakan bahwa Smart akan mengalihkan perhatiannya dari tarif murah ke soal kualitas. “Sesuai slogannya, ‘Hebat, Hemat’, kalau sebelumnya fokus dari tarif hemat, sekarang kami fokus di kualitas,” kata Ruby Hermanto, Head of Commercial Marketing PT Smart Telecom.

Smart mengincar layanan data karena saat ini jumlah pengguna internet Indonesia mencapai 30 juta, sedangkan yang berlangganan baru 10%-nya. Ini poteni yang ingin ditangkap Smart. Sehingga mulai tahun ini mereka aktif memasarkan produk-produk yang mampu memfasilitasi layanan data, mulai dari ponsel modem hingga netbook broadband. Tarifnya pun ditetapkan beragam: ada paket harian, mingguan, dan bulanan.

Pemain lain yang masih harus berjuang mendapatkan simpati pasar adalah Three (3). Sejak kehadirannya di Indonesia pada 2007, fokus Three jelas, yaitu menawarkan tarif terjangkau. Promo yang sering dilakukan adalah memberikan dua atau tida kali lipat pulsa yang dibeli oleh pelanggan. Yang mengesankan, Three berani menggandeng klub sepak bola asal Inggris, Manchester United, sebagai endorser iklannya. Sayang, rencana besarnya mengusung Manchester United bermain di Jakarta terpaksa batal gara-gara aksi terorisme belum lama ini.

Dan, Three boleh dibilang operator paling agresif dalam penyediaan jaringan. Hanya dalam waktu 2,5 tahun, Three sudah menjangkau 70% pasar nasional. Tahun depan, mereka menargetkan mampu menjangkau 90%. Three mengalihdayakan teknologi informasi, operational, call center, termasuk jaringan. “Dengan begitu, kami akan kompetitif dari sisi biaya operasional dan lebih berkonsentrasi pada sisi distribusi, keuangan, serta pemasaran,” tutur Suresh Reddy, Chief Commercial Officer PT Hutchison CP Telecommunications, operator Three.

Three pun tidak bisa menghindar dari aksi perang harga. Namun, Suresh menyadari, jika ingin menang di perang harga; diferensiasi, branding, dan promosinya harus kencang. Oleh karena itu, pihaknya berupaya mengemas komunikasi yang inovatif dan mudah dipahami. Kini, teaser “Mau?” andalannya sudah melekat di hati banyak konsumen. Strategi-strategi itu masih akan terus dilakukan three ke depan.

Tidak lupa, ada si bungsu Axis. Meski kehadirannya paling buncit atau pemain ke-11, Axis juga tampak serius menggarap pasar, apalagi setelah diambil alih oleh Saudi Telecom Company. Axis diposisikan sebagai merek yang baik dengan tarif tidak membingungkan konsumen. Segmen yang disasar adalah anak muda usia 16-30 tahun. Dalam mengomunikasikan mereknya, Axis memilih menggarap konser-konser musik. Rihana Live in Concert dan Soulnation sukses disponsorinya.

Menurut Johan Buse, Chief Marketing Officer Axis, mereka ingin mendukung penuh industri musik di Indonesia dan memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk maju di bidang musik. Dengan strategi tersebut, saat ini pelanggan yang digaetnya sudah mencapai 6 juta orang.

Sebagai pengamat pemasaran dari Vadriv Consulting, Darmadi Durianto menilai operator-operator kecil sebaiknya menghindari perang harga. Perang harga justru membuat mereka “bunuh diri”. Di samping kalah dari sisi permodalan, jumlah pelanggan yang sedikit juga tidak menarik bagi konsumen lain untuk turut bergabung. Sebab, biasanya promo yang diluncurkan operator hanya untuk jaringan satu operator tersebut.

Kalau boleh begitu, menurut Darmadi, solusinya adalah menawarkan diferensiasi produk dan masuk ke segmen menengah ke atas yang bebas perang harga. Fren Duo adalah contoh difrensiasi produk yang menarik bagi pelanggan seluler. Bisa merangkai nomor sendiri seperti yang ditawarkan Esia (Bakrie Telecom) juga merupakan sebuah jawaban. Atau, menggarap segmen menengah ke atas dengan memberikan layanan khusus dan kualitas terbaik. Jadi, jangan melawan operator besar dengan strategi yang sama. BWI - Bersama Mahmud Yunus

0 komentar: