10 Desember 2009 Mengintip layanan WiMax di negeri jiran

Tarif layanan relatif sejajar dengan Internet HSDPA

Oleh Sutarno
Wartawan Bisnis Indonesia

(08/12/2009): Ribut-ribut soal mangkirnya tiga pemegang lisensi WiMax (worldwide interoperability for microwave access) untuk membayar kewajiban serta kesiapan vendor lokal membuat bimbang masyarakat untuk dapat segera menikmati teknologi Internet cepat nirkabel itu.

Tiga ‘calon’ operator WiMax yang mendapat sorotan itu adalah PT Berca Hardayaperkasa, Konsorsium Wireless Telecom Universal, dan Konsorsium Comtronics Systems & Adiwarta Perdania. Hingga batas waktu 20 November, ketiga pemegang lisensi WiMax tersebut belum membayar up front fee (biaya dibayar di muka) masing-masing Rp70,35 miliar, Rp2,7 miliar, dan Rp66,01 miliar. Selain up front fee, mereka juga harus membayar BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi tahun pertama.

Pekan lalu Berca akhirnya menyetorkan up front fee Rp70,35 miliar plus denda serta BHP ke Depkominfo, kendati diberi batas waktu hingga 20 Desember.

Adapun, dua konsorsium operator sepertinya masih mencoba memaksimalkan tenggat yang diberikan, yaitu hingga 26 Januari 2010.

Masalahnya belum selesai disitu. Yang justru membuat delapan operator pemegang lisensi WiMax gundah adalah kesiapan vendor perangkat WiMax lokal untuk mendukung penggelaran jaringan WiMax di seluruh penjuru Tanah Air yang terkaveling ke dalam 15 zona WiMax.

Sesuai dengan ketentuan izin prinsip yang ditandatangani Menkominfo 6 November 2009, delapan pemegang lisensi WiMax diberi waktu paling lambat 1 tahun guna menggelar jaringan untuk selanjutnya melakukan uji layak operasi.

Delapan perusahaan pemegang lisensi WiMax itu adalah PT Telkom, PT Indosat Mega Media (IM2), PT First Media, PT Berca Hardayaperkasa, PT Internux, PT Jusanita Telekomindo, PT WTU (Konsorsium WiMax Indonesia), dan Konsorsium Comtronics Systems & Adiwarta Perdania.

Mereka juga diwajibkan menggunakan perangkat WiMax dengan kandungan lokal 30% untuk subscriber station (terminal pelanggan) dan 40% untuk base station atau menara WiMax.

Inilah yang saat ini menjadi polemik, karena operator WiMax menilai produk perangkat WiMax lokal belum siap untuk digelar di 15 zona WiMax, sementara mereka diberi batas waktu hanya 1 tahun.

Bagaimana solusi masalah tersebut? Biarkanlah operator, produsen perangkat, dan regulator mencari solusinya.

Yang jelas, dari perspektif sebagai calon pelanggan, paling lambat akhir 2010 kita akan menikmati era baru-baru ber-Internet dengan kehadiran layanan Internet nirkabel WiMax.

Sepadankah penantian tersebut dengan kelebihan yang didapatkan dari layanan Internet WiMax, yang menjanjikan kecepatan hingga 70 megabit per second (Mbps)?

Sekadar perbandingan layanan Internet cepat 3,5 G yang lebih dikenal dengan HSDPA (high-speed downlink packet access) memiliki kapasitas 3,6-14,4 Mbps.

Artinya, WiMax lebih menjanjikan kenyamanan, karena secara teoritis kecepatannya lima kali lipat dari jaringan Internet nirkabel HSDPA, yang ditawarkan Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan penyelenggara jasa Internet IM2.

Tarif tak menarik
Kehadiran WiMax membuat masyarakat mempunyai dua pilihan untuk menggunakan layanan Internet cepat nirkabel: seluler broadband dan Internet WiMax.

Kalau preferensinya adalah akses Internet yang lebih cepat, tentu pilihannya adalah WiMax. Namun, yang justru lebih krusial adalah perbandingan tarif berlangganan antara Internet seluler broadband dan Internet WiMax.

Sayangnya, untuk saat ini kita tidak mempunyai pembanding tarif. Namun, kita dapat belajar dari negeri jiran atau tetangga, yaitu Malaysia, yang sudah memiliki layanan WiMax komersial sejak Juli 2008.

Packet One Networks (Malaysia) Sdn Bhd berhasil menorehkan sejarah sebagai operator pertama yang meluncurkan layanan Internet WiMax di negeri jiran tersebut dengan bendera dagang PacketOne (P1).

Sebelum kehadiran P1, layanan Internet seluler broadband dilayani oleh tiga operator seluler, yaitu Maxis, Celcom Axiata, dan DiGi.

Adapun, layanan seluler broadband yang saat ini head-to-head dengan P1 adalah Internet berbasis jaringan HSDPA yang dilayani Maxis dan Celcom. DiGi belum memiliki layanan HSDPA, karena layanan paling cepat baru sebatas teknologi EDGE (enchanced data rates for GSM evolution) dengan kecepatan puncak 384 kilobit per second.

Hingga saat ini, P1 baru membuka keran kecepatan paling tinggi di 10 Mbps dengan paket berlangganan RM149 (sekitar Rp416.000) dengan kuota data 10 gigabyte (GB).

Layanan dari kubu seluler broadband yang mendekati paket P1 tersebut adalah paket layanan 12 GB dari Maxis dengan banderol RM178 (Rp496.900) per bulan dengan teknologi HSDPA 7,2 Mbps.

Artinya, dengan tarif lebih murah sekitar Rp80.000, WiMax P1 menawarkan kecepatan 3 Mbps lebih tinggi dibandingkan dengan Internet HSDPA Maxis. Keunggulan Maxis terletak pada kuota data yang 2 GB lebih besar dibandingkan dengan P1, tetapi mungkin hal ini kurang signifikan untuk diperbandingakan.

Bagaimana perbandingan paket unlimited antara WiMax dan seluler broadband? Celcom merupakan satu-satunya operator seluler yang menawarkan Internet tanpa kuota data. ‘Saudara kandung’ PT XL Axiata Tbk itu membanderol tarif RM299 (Rp834.800) untuk paket unlimited dengan kecepatan puncak 3,6 Mbps.

Lawan tandingnya adalah paket unlimited P1 dengan banderol RM339 (Rp946.400). P1 kalah bersaing dengan paket unlimited Celcom, karena tarifnya lebih mahal sekitar Rp112.00 tetapi kecepatannya lebih lelet-hanya 2,4 Mbps.

Belajar dari pengalaman WiMax di Malaysia tersebut, sepertinya tidak ada yang istimewa dari kehadiran teknologi Internet cepat itu. Layanan WiMax dan Internet seluler HSDPA masih merupakan pilihan yang bersifat komplementer bukan substitusional.

Bagaimana dengan nasib WiMax dari delapan pemegang lisensi di Tanah Air? Mudah-mudahan terjadi gebrakan, sehingga WiMax memberikan momentum bagi kita untuk menikmati akses Internet murah nan cepat. (sutarno@bisnis.co.id)

0 komentar: