13 Februari 2009 Bila Si Bungsu Harus Memburu

Sudarmadi
Reportase : Tutut W. Handayani


Majalah SWA 03/XXV/5-18 Februari 2009

Sejak masuknya pemodal baru, Axis sangat serius membangun kekuatan agar bisa ikut menikmati empuknya kue bisnis seluler. Berbagai pembenahan dan startegi baru diterapkan.

Akankah penetrasi di sebuah industri yang sedang booming selalu menyenangkan dan mudah ?
Jawabannya : tidak selamanya.

Peluang bisnis selalu mirip mata uang dengan dua sisi: ada peluang, tapi juga risiko. Di satu sisi, masuk di bisnis yang sedang tumbuh memang menjanjikan peluang meraih kue pasar lebih cepat karena secara umum industrinya tengah mekar. Namun, disisi lain biasanya persaingannya juga ketat.
Apalagi, bila industri itu sangat high profile seperti operator seluler, persaingannya jauh lebih ketat karena perusahaan-perusahaan telekomunikasi dikelola tim-tim yang sangat melek pemasaran modern.

Mengelola bisnis di lanskap industri yang seperti itu pasti butuh perjuangan lebih keras. Terlebih bila perusahaan tersebut tergolong late comer serta di internalnya masih menyimpan sejumlah tantangan dan pekerjaan pembenahan yang mesti terlebih dulu dibereskan. Bagi perusahaan sejenis ini, upaya yang harus dilakukan jauh lebih kompleks.

PT Natrindo Telepon Seluler tak salah kalau dipetakan sebagai pelaku bisnis yang ada dalam posisi seperti itu. Operator seluler GSM yang mengibarkan Axis ini, disatu sisi memang berada di bisnis yang tengah tumbuh, kalau tak boleh disebut bisnis yang sedang pesta pora. Hanya saja, di bisnis ini ia merupakan pemain baru. Tipologi late comer yang berusaha menghapus ketertinggalan dari para pemain yang lebih dulu masuk yang skala bisnisnya sudah jauh lebih besar, entah itu Telkomsel, Excelcomindo Pratama, Indosat, ataupun Bakrie Telecom (Esia). Natrindo adalah pemain GSM terakhir yang masuk kepasar, yakni sebagai pemain ke-11. Sementara itu, sebagai merek, Axis berada dalam urutan ke-18 dari 19 merek GSM dan CDMA yang beredar di pasar. Tantangan yang tak mudah. Apalagi, ditambah beberapa pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.

Sekedar mengilas balik, Natrindo didirikan Grup Lippo. Kelompok usaha ini memanfaatkan izin penyelenggaraan bisnis operator GSM dengan memulai dari Jawa Timur (Surabaya dan sekitarnya). Namun, boleh dibilang kinerjanya sangat jauh dari kinclong. Bahkan, beberapa kalangan menyebut Natrindo sebagai operator setengah hari.

Betapa tidak, walau sudah mendapatkan izin untuk menyelenggarakan layanan dengan coverage nasional pada 2002, Natrindo tidak banyak bermanuver. Tak mengherankan, Ditjen Postel pernah menegur (mengirim surat peringatan) karena Natrindo dinilai tak optimal dalam menggunakan frekuensi yang telah dialokasikan pemerintah. Maklum, jumlah base transceiver station (BTS) yang dibangunnya tak sebanding dengan lebar pita yang diterapkan dan Biaya Hak Pengguna Frekuensi Radio yang dibayarkan ke kas negara. Waktu itu bahkan pemerintah sempat berwacana mengurangi jatah lebar pita yang telah dialokasikan ke anak usaha Lippo ini.

Kebijakan itu bisa dimengerti karena Natrindo sudah mengantongi lisensi frekuensi 3G (frekuensi DCS1800) dengan lebar pita 15 MHz sejak 2004, atau sama dengan tiga blok. Lebar pita itu sama dengan yang dipakai Excelcomindo (operator XL) dan bahkan lebih lebar dibandingkan Hutchinson yang hanya memperoleh dua blok atau 10 MHz. Sayangnya, hingga akhir 2007, jumlah BTS yang dibangun Natrindo belum seberapa dibanding Excelcomindo dan Hutchinson.

Secercah fajar terang Natrindo baru mulai tampak setelah Saudi Telecom Company (STC) membeli 25% saham Maxis Malaysia senilai US$3 miliar (sekitar Rp 27 triliun). Dan, sebagai bagian dari transaksi itu, Saudi Telecom juga segera mengambil alih 51% saham anak usaha Maxis di Indonesia, yang tak lain Natrindo tersebut, Maxis sendiri membeli mayoritas saham Natrindo dari Grup Lippo setahun sebelumnya. Transaksi yang melibatkan STC tepatnya terjadi awal 2008. sejak masuknya STC di Natrindo, barulah upaya yang lebih serius dan konkret dikembangkan. Saat itu juga Natrindo mulai gencar meluncurkan merek barunya, Axis.

Toh, persoalan yang harus dibereskan tidaklan sederhana. Dari sisi pemasaran, seperti disinggung diatas, Natrindo adalah late comer yang mau tak mau harus meniadakan ketertinggalan dari pemain-pemain mapan. Dalam konteks ini, harus diakui, ia agak terlambat dan banyak kehilangan momen.

Ia melakukan penetrasi saat situasi pasar sudah memulai perang tarif. Kompetitornya sangat dinamis dan jauh lebih berpengalaman di Indonesia. STC memang jawara di Arab Saudi dan Maxis pemain terbesar di Malaysia, tapi di Indonesia mereka masih anak bawang. Dari infrastruktur seperti kepemilikan (BTS) dan jaringan pemasaran (dealer dan distributor) pun Axis belum apa-apanya dibanding pemain-pemain lain.

Kenyataan itu juga dilengkapi sejumlah pekerjaan internal. Simak saja, Natrindo kabarnya sudah punya sumber daya manusia full team untuk menggarap bisnis seluler sejak awal 2006, tapi kenyataannya baru didayagunakan Februari 2008. Masa dua tahun itu boleh dibilang “agak” vakum kalau tak boleh dibilang “sangat” vakum. Tepatnya sebelum Maxis masuk. Karyawannya kabarnya bahkan tak tahu kemana arah perusahaan. Mereka sempat bingung karena tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan dengan pasti. Kompetensi SDM pun otomatis kurang terasah sehingga yang kemudian terjadi adalah masuk ke zona nyaman (comfort zone).

Mengeluarkan dari comfort zone itulah yang menjadi tugas berat ketika akan membangkitkan perusahaan ini begitu STC masuk. Belum lagi rata-rata SDM Natrindo berasal dari perusahaan telekomunikasi lain yang telah mapan, sementara di Natrindo mereka harus dikondisikan untuk memulai dari nol kembali. Juga, harus memadukan budaya perusahaan berhubung Natrindo berasal dari tiga entitas berbeda, Saudi Telecom Company yang punya 51% saham, Maxis Communication (44%) dan pemegang saham lokal (5%).

Manajemen Natrindo di bawah kendali STC dan Maxis nampaknya sangat sadar terhadap pelbagai persoalan itu. Untuk itu, sejak April 2008 terus tancap gas dengan melakukan upaya penyempurnaan di semua lini. Mereka sadar harus bergerak cepat dan beroperasi dengan wilayah cakupan seluruh Indonesia. Atau kalau tidak, benar-benar akan kehilangan momentum bisnis. Mereka harus bisa secepat mungkin merebut hati target pasarnya.

Ada banyak lini yang digenjot oleh manajemen Natrindo di bawah format kepemilikan yang baru. Di antara yang pertama dilakukan, mengembangkan infrastruktur, terutama BTS agar cakupan makin luas. Dari April 2008 hingga sekarang (10 bulan terakhir), tak kurang dibangun 3.000 BTS. “Kami sudah mampu menjangkau 40% penduduk Indonesia atau sekitar 88 juta orang,” kata Erik Aas, CEO Natrindo.

Upaya pengembangan infrastruktur ini dibarengi aktivitas pemasaran. Axis masuk di kota-kota besar di Indonesia. Mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Bali hingga Lombok. Saat ini sudah hadir di 90 kota di 8 provinsi. Hal itu juga dibarengi berbagai program promosi yang kreatif.
Johan Buse, Chief Marketing Officer Natrindo, tak menampik kalau Axis dikatakan sangat agresif dalam beriklan. Iklannya dilakukan terintegrasi baik di televisi, media cetak maupun billboard. Iklan itu juga dibarengi berbagai penawaran yang diberikan kepelanggan. Contohnya, memberi bonus 1.000 SMS dan 1.000 MMS setiap bulan. Iklan tentang tawaran ini ditayangkan di 7 stasiun televisi nasional. Untuk below the line, sempat pernah menjadi sponsor utama event musik soulnation dan Rihana Live in Concert.

Axis juga mengadakan berbagai program kreatif baik dari sisi produk maupun promosi. Contohnya, memberikan tarif murah untuk koneksi internasional saat Lebaran, melakukan co-branding dan jualan bundling bersama pabrikan vendor hanset (Sony Ericsson dll), meluncurkan paket fasilitas bebas akses Internet selama setahun, meluncurkan program tarif Rp 1 per SMS, serta memberikan bonus pulsa 100% bila melakukan isi ulang via ATM BCA. Manajemen Axis memang memperluas kanal pemasarannya, antara lain dengan menggandeng BCA. Pelanggan dapat menikmati kemudahan mengisi ulang kartu Axis di lebih dari 5.700 ATM BCA di seluruh Indonesia.

Sebagai pemain baru, dalam komunikasinya Axis menyebut dirinya “GSM yang Baik”. Bukan karena operator GSM lain jahat atau Axis sudah yang terbaik, tapi karena ingin memberikan nilai-nilai transparan dalam arti tarif yang ditawarkan kepada konsumen tidak membingungkan jika konsumen ingin menghitung kembali pemakaiannya.
“Di Axis tidak akan ada tarif-tarif tertentu yang murah hanya pada jam-jam tertentu,” kata Johan. Axis sendiri diposisikan untuk konsumen usia muda (15-35 tahun).

Yang paling mendasar, yang dilakukan manajemen Axis di bidang organisasi dan SDM. Mereka memang dituntut menyiapkan tim yang sanggup berlari kencang dan dinamis agar bisa mengejar berbagai ketertinggalan. “Jika ingin survive, people di Axis harus mau dan dapat berpikir serta melakukan sesuatu yang berbeda dengan cara yang berbeda,” Wahyudin Adikusumah, Direktur SDM Natrindo, menegaskan. Axis harus bisa men-challenge SDM agar mau keluar dari comfort zone karena sesungguhnya mereka merupakan SDM yang punya kapabilitas dan pengalaman.

Sebab itu, selama 2008, Natrindo melakukan banyak strategi jangka pendek, tapi bersinambung. Tujuannya, apa yang bisa dilakukan saat itu segera dilakukan. Tidak ditunda-tunda, gerak cepat. Maklum, industri yang ditekuni sangat dinamis dan bisa cepat berubah, tak ubahnya fast moving consumer goods. Apalagi, yang disasar adalah segmen usia muda.

Yang menjadi prioritas untuk dilakukan antara lain memperkuat tim. Selama 2008 bagian Pengembangan SDM (HRD) lebih banyak melakukan rekrutmen. Wahyudin yang bergabung dengan Natrindo Desember 2007 menjelaskan, saat dirinya masuk, jumlah SDM 300 orang dan sekarang mencapai 570 orang. Artinya, setidaknya terjadi rekrutmen 15 orang per bulan.

Tak hanya memperbanyak jumlah karyawan, Natrindo juga membangun sistem yang bisa merangsang karyawan berpacu dan bisa meraih prestasi maksimal. Dengan alasan itu, pada 2008 diperkenalkan model performance management appraisal (PMA) untuk level manajer ke atas. “Diharapkan juga bisa menjadi tools untuk mengukur kinerja, menentukan sasaran kerja, dan sumber masukan untuk mengembangkan berbagai program pengembangan SDM,” papar Wahyudin. Untuk melakukan PMA, digunakan key performance indicator (KPI) dan core competency. Penilaiannya dilakukan para atasan dan user-nya. Dengan adanya indikator-indikator kinerja seperti itu, masing-masing orang diharapkan terdorong berkinerja sebaik-baiknya.

Implementasi PMA sendiri terus disempurnakan dari waktu ke waktu. Saat ini pun tengah dilakukan konsolidasi dan pengkajian. Meski agak terlambat, PMA terus akan disosialisi. Pengenalan PMA membuat para manajer terbiasa dan belajar menyisihkan waktu untuk coaching-mentoring-dialogue-knowledge sharing dengan staf. “Memang menghabiskan waktu, tapi harus bisa karena kelak akan menjadi tools dan basis untuk memantau leadership skills para manajer dan mencari talenta-talenta pemimpin dimasa mendatang,” tutur Wahyudin kembali.

Dia merinci, para atasan harus memilih 1-2 dari stafnya yang potensial untuk ditelaah lebih lanjut. Misalnya, yang capable dalam menangani proyek tertentu, kemudian akan dilihat KPI leadership competency-nya. Yang pasti, di 2009 ini PMA akan diterapkan dengan nilai-nilai yang lebih komprehensif serta dalam cakupan level jabatan yang lebih luas.

Tak hanya itu, agar karyawan terpompa untuk berprestasi, sekaligus loyal, ditawarkan paket insentif yang bersaing dengan perusahaan sejenis. “Program package yang kami tawarkan sekitar 50% diatas perusahaan sejenis,” ungkap Wahyudin. KPI yang diterapkan juga menentukan reward dan punishment.

Dalam menyosialisasi PMA dan KPI agar masing-masing individu bekerja sesuai dengan standar dan prosedur, digunakan majalah internal dan internet, serta mengadakan townhall meeting sekali per kuartal. Pada saat townhall meeting, disampaikan rencana dan pencapaian bisnis, sekaligus harapan dan target. Awalnya, pertemuan ini hanya diadakan di Jakarta, tapi sejak Agustus 2008 dilakukan di kantor-kantor cabang di daerah. Tujuannya, agar lebih mendekatkan diri dengan karyawan di luar kota sehingga terjalin komunikasi yang erat antara pusat dan daerah.

Tool lain yang juga dibangun Natrindo untuk mengejar kemajuan adalah proses-proses bisnis yang lebih sederhana dan sebisa mungkin mematahkan birokrasi yang kaku. Ide penting tak harus dilontarkan melalui pertemuan formal, tapi bisa melalui pertemuan informal, entah itu saat main bola basket, futsal atau bermusik bersama.

Budaya birokrasi perusahaan juga dibangun. Menurut Erik, Natrindo didesain sebagai tempat kerja yang hanya cocok bagi orang-orang yang suka tantangan dan tangguh dalam situasi kerja yang ketat deadline dan persaingan. Hanya orang-orang yang dinamis yang bisa bertahan dan berkembang. Apalagi, jika mengingat posisi Axis di industrinya yang bak David, sosok kecil tapi dipacu untuk mempu mengalahkan Goliath.

Karena itu, karyawan Natrindo harus bermental pemenang serta punya integritas dan harga diri tinggi. Mereka mesti siap bersaing dengan sehat dengan pemain lain tanpa harus mendiskreditkannya. “We should be a challenger. Challenger not just to be a winner. But, we should do something in differently to make something very differently,” kata Erik.

Bila dilihat perkembangannya setelah setahun terakhir diorbitkan, tampaknya berbagai upaya pengejaran itu tidak sia-sia alias ada harapan. Manajemen Natrindo mencatat, dalam 10 bulan terakhir Axis berhasil meraih 3 juta pelanggan baru. Lalu, 3.000 BTS telah dibangun dan menjangkau 40% populasi penduduk Indonesia atau sekitar 88 juta orang di 90 kota dari 8 provinsi.

Manajemen Natrindo pun percaya diri menargetkan meraih 6 juta pelanggan di 2009 ini alias dua kali lipat dari pencapaian 2008. Untuk itu di 2009 akan dibangun 3.000 BTS lagi (sehingga menjadi 6.000 BTS). Axis menggandeng Huawei dan Ericsson dalam pembangunannya. Huawei untuk wilayah Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi, sedangkan Ericsson untuk Jakarta, Banten dan Sumatera. Sekitar 75% BTS disediakan melalui kerja sama dengan pola menara bersama. Lalu, Natrindo akan fokus menggelar ekspansi dan menambah kapasitas jaringan di 30 kota dari 11 provinsi di Jawa dan Sumatera. “Kami akan melanjutkan inovasi dan penetrasi layanan.” Tutur Erik.

Pengamat bisnis Godo Tjahjono melihat, masa depan Axis sangat tergantung pada komitmen STC membangunnya menjadi salah satu pemain besar di bisnis seluler di Indonesia. “Sejauh ini strategi pembenahan dan langkah-langkah yang dilakukannya on the right track,” ujar Godo. Kata kunci untuk dapat merebut hati konsumen GSM Indonesia adalah konsistensi. Sejauh ini Axis konsisten dengan offering dan development yang dilakukannya, setidaknya harapan menjadi big player menjadi terbuka.

Konsistensi disini, lanjut Godo, bukan hanya terus melakukan upaya ekspansif atau berorientasi pada ujung KPI seperti jumlah BTS, cakupan, penjualan dan average revenue per user (ARPU), tapi juga KPI-KPI lain yang mebuat bisnis tetap terkendali. Contohnya, aspek-aspek yang terkait dengan audit operasional, sumber daya, keuangan dan pemasaran yang sering diupakan atau malah menimbulkan resistensi dari karyawan yang tengah terkena euforia pertumbuhan. “Axis jangan Cuma fokus pada how to grow tapi juga how to manage,” demikian pesan Godo.

Dari sudut strategi, Axis terlihat punya komitmen untuk menjadi merek yang diperhitungkan. Pekerjaan rumahnya, Godo menandaskan, adalah bagaimana membuat business forecast yang tepat sehingga tidak kehabisan napas karena ratio cost revenue-nya dalam 2-3 tahun ke depan akan menghadapi tantangan pasar. Mulai dari pasar yang semakin jenuh, pertumbuhan industri yang terlambat, hingga birokrasi dan kondisi makro yang tidak kondusif untuk berekspansi. Menurut Godo, kolaborasi STC dan Maxis mestinya bisa memunculkan sinergi kekuatan finansial, pengalaman dan pemahaman terhadap karakteristik pasar Asia Tenggara.

Wahyudin cukup optimistis pihaknya akan meraih perkembangan memuaskan. Tak mengherankan, pihaknya akan terus melanjutkan berbagai program penyempurnaan. Tahun 2009 Natrondo akan menyusun visi-misi secara formal. Lalu, memperbanyak program SDM yang terstruktur seperti pelatihan. Juga, melakukan pemetaan dan evaluasi tiap pekerjaan serta mendesain kembali struktur organisasi.

Yang tak kalah penting, segera menyusun dan menetapkan corporate velue. Saat ini brand value yang lebih banyak berhubungan dengan eksternal sudah dimiliki, maka akan segera dikembangkan sisi corporate value untuk internal. “Corporate value akan menjadi guidance pending dalam menjalankan bisnis,” kata Wahyudin. Ya, itu tak boleh dilupakan bagi late comer yang masih terus mengejar kompetitornya. *

0 komentar: