19 Februari 2009 Bila Teknologi Berbenturan Dengan Simbol Budaya Lokal

Oleh Roni Yunianto
Wartawan Bisnis Indonesia


“Saya bukan bermaksud membela Bali,” kata budayawan I Gusti Ngurah Putu Wijaya dalam satu diskusi yang mengupas tema Menara Terpadu dengan Kearifan Lokal baru-baru ini.

Dalam diskusi singkat itu, Putu mengupas kearifan masyarakat Bali (ajeg Bali) menyusul sorotan terhadap persoalan pembongkaran menara based transceiver station (BTS) telekomunikasi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Badung, Bali akhir-akhir ini.

Dalam kacamata Putu, orang Bali adalah orang moderat termasuk dalam menerima perkembangan teknologi. “Janganlah berpikir orang Bali itu kolot, mereka hanya tidak ingin kecolongan lagi,”

Budayawan itu pun lantas memberi contoh banyak proyek komersial yang sebenarnya telah mengabaikan keluhuran nilai budaya orang Bali padahal Bali adalah tujuan wisata budaya. Namun, masyarakat akhirnya dapat menerima.

Sebut saja banyak pantai indah sudah dimiliki hotel-hotel berbintang, Garuda Wisnu Kencana, dan Tanah Lot, yang semula ditentang dapat terwujud tentu dengan kompromi.

Padahal kepentingan bisnis ini kerap membuat orang Bali kesulitan, karena harga-harga yang dulunya murah menjadi mahal. Dalam konteks ini, pemilik menara dianggap memiliki kepentingan komersial dan boleh jadi dianggap menerabas nilai yang berlaku di Pulau Dewata. Sebagai contoh tidak boleh ada bangunan yang tingginya melebihi tinggi Pura Besakih.

Perbenturan nilai
Putu yakin bukan lantas persoalan menara itu buntu. Persoalan itu masih dapat dikompromikan hanya saja membutuhkan waktu dan ada yang dapat menjelaskan dengan lebih baik.

“Mereka akan bisa menerima, karena mereka percaya ada keluhuran yang lebih tinggi dari keluhuran yang ada saat ini. Saya kira orang Bali akan sanggup mengatasinya,” ujarnya.

Dari konteks teknis, Merza Fachys, ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia, menuturkan pembongkaran satu menara BTS saja dapat menimbulkan rentetan persoalan dalam jaringan telekomunikasi d seluruh kota.

Seluler, katanya, adalah teknologi radio nirkabel yang sesuai dengan sifatnya semakin mampu mencakup wilayah yang lebih luas dengan posisi semakin tinggi. Konsekuensinya, operator harus mencari tempat terbaik sesuai dengan jumlah pelanggan yang akan dicakupnya dan melibatkan banyak perhitungan dan pengukuran teknis.

Eksekutif perusahaan pengelola menara yang tak mau diungkap jati dirinya berpendapat niat pemda membongkar menara sebenarnya upaya yang percuma dan hanya akan merugikan daerah itu sendiri. Sarannya, pemda dapat mengizinkan menara yang sudah ada.

“Lebih baik melakukan pemutihan, tidak menerbitkan izin bangunan baru. Setiap radius 500 meter, operator harus sharing, itu baru win-win solution.”

Padahal kebutuhan pelanggan meningkat seiring dengan penurunan tarif seluler dan mendorong kebutuhan menara.

Yang jelas, operator telekomunikasi di Tanah Air mendapat pelajaran berharga dari kasus pembongkaran menara di Bali. Konteks teknologi pada pembangunan sebuah menara telekomunikasi hendaknya tidak berbenturan atau menyinggung simbol-simbol budaya lokal. (roni.yunianto@bisnis.co.id)

0 komentar: