19 Februari 2009 UU ITE Mulai Menuai Kontroversi

Transaksi elektronik lebih terpayungi

Oleh Fita Indah Maulani

Jakarta, Bisnis Indonesia – Penyedia jasa layanan Internet meminta Undang-undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) direvisi kembali atau ditunda pelaksanaannya hingga seluruh peraturan pemerintah (PP) di bawahnya disahkan.

Ketua Asosiasi Pengusaha Warnet Komunitas Telematika (APW-Komitel) Rudi Rushdiah mengatakan UU ini perlu direvisi karena ada pasal yang bertabrakan dengan UU Pornografi, UU Pers, dan Kitab Undanng-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai pencemaran nama baik.

“UU ITE tidak perlu mengatur hal yang sudah ada dalam aturan hukum sebelumnya, karena berpotensi menimbulkan kerancuan dan akhirnya membuat masyarakat takut,” ujarnya kepada Bisnis, kemarin.

Dia mencontohkan dengan kerancuan itu, seorang pengguna situs jaringan sosial bisa dituntut atas pasal pencemaran nama baik oleh pihak lain hanya karena sebuah kalimat yang ditulisnya dalam website tersebut.

Pengusaha warnet menilai UU ITE sebaiknya fokus mengatur masalah penyidikan atas tindak kejahatan di dunia maya dan alat-alat bukti dalam tindak kejahatan tersebut. Apa yang sudah ada dalam UU sebelumnya, lajut Rudi, tidak perlu dibahas lagi.

Pengusaha warnet juga mensinyalir UU ini bisa menimbulkan ketakutan, selama tidak ada penjelasan teknis terperinci yang dituangkan dalam 9 PP. “Sayangnya, belum ada satupun PP yang telah disahkan,” katanya.

Dalam UU ini, seorang pengusaha warnet atau penyedia akses layanan Internet lainnya bisa ikut ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka ketika seorang pengguna jasanya melakukan tindak kejahatan dalam transaksi elektronik.

“Pengusaha yang tidak mengetahui apapun bisa terlibat karena ketidakjelasan sebuah pasal dalam UU. Harus jelas dulu aturannya baru diberlakukan,” ujarnya.

Justru penting
Sebaliknya, Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Warung Internet Indonesia (Awari) Judith M.S. Lubis mengatakan UU ini sangat penting dan harus segera diberlakukan untuk memberikan keamanan bertransaksi bagi industri dan masyarakat.

“Masyarakat masih ragu bertransaksi elektronik karena khawatir tindak kejahatan yang terjadi tidak memperoleh penegakan hukum. Perdagangan internasional juga terhambat tanpa adanya kepastian hukum,” ujarnya.

Dia menilai adanya kepastian hukum melalui sebuah UU akan membuka kepercayaan masyarakat untuk meningkatkan transaksi elektronik. Dampak positifnya akan terjadi kemudahan interaksi dengan pihak lain, baik antarpulau maupun antarnegara.

Masalah perdagangan Indonesia dengan negara lain selama ini ada pada jaminan hukum dalam transaksi elektronik. Ekspor impor banyak menggunakan transaksi elektronik dan negara lain menjaga jarak, karena tidak adanya kepastian hukum.

UU ini merupakan langkah baik dan perlu segera disosialisasikan agar penegakan hukum terhadap para pelaku kejahatan bisa segera diberlakukan. Penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim harus memahaminya juga.

“Sosialisasi terhadap aparat penegak hukum dan dunia industri, seperti perbankan harus ditingkatkan karena meraka yang akan menjadi referensi masyarakat,” ujarnya.

Menkominfo Muhammad Nuh menegaskan sebuah UU tidak bisa begitu saja dicabut atau direvisi mengingat proses pembahasannya sudah sangat intensif oleh pemerintah dan DPR.

Dirjen Aplikasi Telematika Depkominfo Cahyana Ahmadjayadi menilai sosialisasi sudah puluhan kali dilakukan kepada Kejaksaan Agung dan Polisi di setiap daerah sejak tahun lalu. (fita.indah@bisnis.co.id)

0 komentar: