
Mayoritas perusahaan telekomunikasi mengalami rugi kurs. Akibat hasil usaha rupiah, tapi mesti belanja modal dan bayar utang pakai dolar. Perusahaan milik pemerintah atau BUMN pun banyak yang merugi. Melindungi utang dolar dengan hedging pada saat ini mahal.
JUMLAH pelanggan melonjak. Pendapatan pun ikut terdongkrak. Eh, rapor perusahaan kok malah merah. Begitulah yang dialami Excelcomindo Pratama. Laporan keuangan perusahaan telekomunikasi dengan merek jualan XL itu memperlihatkan angka merugi Rp 306 milyar pada kuartal pertama tahun ini. Kenapa? Ini terjadi karena adanya selisih kurs rupiah dengan dolar.
Dalam pembukuan pada kuartal pertama 2009 ini, perusahaan yang memakai artis Luna Maya sebagai ikon produknya itu sesungguhnya mampu meraup duit Rp 2,926 trilyun atau naik 10% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan pendapatan itu, antara lain, karena melonjaknya outgoing minutes (panggilan keluar) sebesar 19,9 milyar menit. Selain itu, juga karena pertumbuhan penghasilan dari penyewaan menara yang naik enam kali lipat.
Rugi kurs adalah kerugian yang terjadi karena selisih kurs. Contoh gampangnya begini. Sebuah perusahaan berutang US$800 juta. Pada saat utang itu diperoleh, kursnya Rp 9.000 per US$. Sehingga utang perusahaan itu tercatat dalam laporan keuangan (rupiah) sebesar Rp7,2 trilyun. Nah, ketika jatuh tempo membayar utang, ternyata kursnya menjadi Rp 11.000 per US$. Akibatnya, beban utang menjadi Rp8,8 trilyun. Terjadi selisih utang Rp1,6 trilyun (Rp8,8 trilyun dikurang Rp7,2 trilyun). Inilah yang disebut rugi kurs. Ditambah lagi, beban bunga yang harus dibayar dengan sendirinya ikut membengkak.
**
Komposisi utang XL, kata Hasnul, 70% dalam mata uang rupiah dan 30% dalam bentuk dolar. Utang itu berupa utang usaha, pinjaman jangka pendek, dan pinjaman jangka panjang. Utang usaha itu, antara lain, biaya operasional, biaya interkoneksi, dan jelajah internasional.
Nilai utang usaha per akhir kuartal pertama tahun ini adalah Rp3,32 trilyun. Utang jangka pendek pada posisi akhir Maret tidak ada. Sedangkan utang jangka panjang Rp17,02 trilyun, dengan jatuh tempo bervariasi. Selain karena utang rugi kurs, kerugian juga disebabkan belanja barang yang berbasis dolar. “Namun yang dominan di XL karena utang,” ujar Hasnul.
Rugi kurs itu, menurut Hasnul, sebenarnya bukan rugi yang sebenarnya. “Rugi kurs itu unreal life,” katanya. Sebab, begitu kurs dolar turun lagi, perusahaan bisa jadi meraup laba. Pada saat ini, kata Hasnul, XL belum akan melindungi utang asingnya dengan hedging (lindung nilai). Sebab, seiring dengan keperkasaan dolar, biaya hedging jadi mahal. Bunga yang mesti dibayar adalah 10%-20% per tahun. Sedangkan sebelumnya, pada saat bunga belum tinggi, yakni 2% - 3%, XL banyak melakukan lindung nilai. “Kalau nanti murah lagi, ya kami akan hadging lagi,” Hasnul menambah.
Hedging adalah mekanisme untuk melindungi nilai uang dari fluktuasi kurs. Ini banyak dilakukan untuk mengamankan nilai utang. Caranya, di antara kedua pihak bertukar mata uang sesuai dengan kesepakatan, menyangkut jatuh tempo pembayaran dan bunga yang mesti dibayar.
Misalnya, perusahaan A sepakat menukar rupiah senilai Rp 90 milyar pada 2010 dengan perusahaan B yang akan menyerahkan US$ 10 juta. Berapa pun kurs yang terjadi, keduanya tetap akan menyerahkan uang berdasarkan mata uang yang disepakati itu. Setiap bulan, dua perusahaan itu membayar bunga yang disepakati hingga jatuh tempo penyerahan pokok.
Nilai utang usaha per akhir kuartal pertama tahun ini adalah Rp3,32 trilyun. Utang jangka pendek pada posisi akhir Maret tidak ada. Sedangkan utang jangka panjang Rp17,02 trilyun, dengan jatuh tempo bervariasi. Selain karena utang rugi kurs, kerugian juga disebabkan belanja barang yang berbasis dolar. “Namun yang dominan di XL karena utang,” ujar Hasnul.
Rugi kurs itu, menurut Hasnul, sebenarnya bukan rugi yang sebenarnya. “Rugi kurs itu unreal life,” katanya. Sebab, begitu kurs dolar turun lagi, perusahaan bisa jadi meraup laba. Pada saat ini, kata Hasnul, XL belum akan melindungi utang asingnya dengan hedging (lindung nilai). Sebab, seiring dengan keperkasaan dolar, biaya hedging jadi mahal. Bunga yang mesti dibayar adalah 10%-20% per tahun. Sedangkan sebelumnya, pada saat bunga belum tinggi, yakni 2% - 3%, XL banyak melakukan lindung nilai. “Kalau nanti murah lagi, ya kami akan hadging lagi,” Hasnul menambah.
Hedging adalah mekanisme untuk melindungi nilai uang dari fluktuasi kurs. Ini banyak dilakukan untuk mengamankan nilai utang. Caranya, di antara kedua pihak bertukar mata uang sesuai dengan kesepakatan, menyangkut jatuh tempo pembayaran dan bunga yang mesti dibayar.
Misalnya, perusahaan A sepakat menukar rupiah senilai Rp 90 milyar pada 2010 dengan perusahaan B yang akan menyerahkan US$ 10 juta. Berapa pun kurs yang terjadi, keduanya tetap akan menyerahkan uang berdasarkan mata uang yang disepakati itu. Setiap bulan, dua perusahaan itu membayar bunga yang disepakati hingga jatuh tempo penyerahan pokok.
**
XL hanyalah satu contoh perusahaan telekomunikasi yang kinerja keuangannya tertekan dolar. Mayoritas perusahaan telekomunikasi di Indonesia mengalami hal serupa. Indosat, misalnya, membukukan rugi kurs Rp885,7 milyar pada 2008. Sedangkan data keuangan untuk kuartal pertama tahun ini belum dirilis.
Total utang Indosat per 31 Desember 2008 adalah Rp 21,76 trilyun. Komposisinya, 51% dalam bentuk rupiah dan 49% dalam bentuk dolar. Setengah dari utang dolar itu di-hedging pada kisaran Rp9.500 per US$, terutama untuk utang obligasi US$. Toh, ini masih belum cukup untuk membebaskan Indosat dari rugi kurs. Meski mengalami rugi kurs, keungan Indosat tetap oke. Tahun lalu, Indosat mencetak laba Rp1,878 trilyun.
Hal yang sama menimpa PT Telkom. Tahun lalu, BUMN telekomunikasi ini mengalami rugi kurs Rp 1 trilyun. Hal ini membuat laba usaha tergerus. “Pada kuartal pertama tahun ini juga masih akan dibayangi rugi kurs,” kata Rinaldi Firmansyah, Direktur Utama PT Telkom. Biarpun begitu, rapor Telkom tetap biru. Pada kuartal pertama tahun ini, Telkom mencetak laba bersih Rp 2,5 trilyun.
Sedangkan rapor Mobile-8 (Fren) merah, karena pendapatannya menurun drastis, ditambah kerugian karena kurs. Tahun lalu, perusahaan milik Kelompok Bimantara ini rugi Rp 1 trilyun dan hingga kuartal pertama tahun ini tekor Rp 180 milyar.
Kinerja oke ditunjukan Bakrie Telecom yang tetap mencetak keuntungan Rp 136,8 milyar, meski mengalami rugi kurs Rp 44,5 milyar. Kerugian itu lebih disebabkan belanja modal karena utang dolarnya dilindungi dengan hedging.
**
Perusahaan telekomunikasi di Indonesia memang sangat rentan mengalami rugi kurs. Ini terjadi, selain karena utang bermata uang dolar, dari sisi belanja modal juga masih sangat bergantung pada impor. Setiap tahun, sebagiah besar belanja modal operator telekomunikasi dinikmati pabrikan luar negeri. Nilai benaja modal tahun lalu mencapai Rp44 trilyun dan tahun ini sekitar Rp 70 trilyun.
Menarik minat investor untuk mendirikan pabrik komponen di Indonesia juga bukan perkara gampang. “Kita sudah meminta sejak dulu, tapi volume kita masih kalah untuk adanya pabrik komponen di sini,” kata Hasnul. Jumlah pelanggan di Indonesia hanya 150 juta. Sedangkan di Cina, untuk mendapatkan angka itu hanya dibutuhkan waktu setahun.
Untuk menekan belanja modal, cara yang bisa dilakukan, antara lain, menjalin kerja sama dengan operator lain dalam pemakaian tower dan fiber optik secara bersama-sama. “Dulu, itu tak boleh, kemudian XL menjadi pelopornya,” ujar Hasnul. Hasilnya, XL mendapat keuntungan dari biaya sewa. Operator lain pun untung karena biaya investasi berkurang.
XL hanyalah satu contoh perusahaan telekomunikasi yang kinerja keuangannya tertekan dolar. Mayoritas perusahaan telekomunikasi di Indonesia mengalami hal serupa. Indosat, misalnya, membukukan rugi kurs Rp885,7 milyar pada 2008. Sedangkan data keuangan untuk kuartal pertama tahun ini belum dirilis.
Total utang Indosat per 31 Desember 2008 adalah Rp 21,76 trilyun. Komposisinya, 51% dalam bentuk rupiah dan 49% dalam bentuk dolar. Setengah dari utang dolar itu di-hedging pada kisaran Rp9.500 per US$, terutama untuk utang obligasi US$. Toh, ini masih belum cukup untuk membebaskan Indosat dari rugi kurs. Meski mengalami rugi kurs, keungan Indosat tetap oke. Tahun lalu, Indosat mencetak laba Rp1,878 trilyun.
Hal yang sama menimpa PT Telkom. Tahun lalu, BUMN telekomunikasi ini mengalami rugi kurs Rp 1 trilyun. Hal ini membuat laba usaha tergerus. “Pada kuartal pertama tahun ini juga masih akan dibayangi rugi kurs,” kata Rinaldi Firmansyah, Direktur Utama PT Telkom. Biarpun begitu, rapor Telkom tetap biru. Pada kuartal pertama tahun ini, Telkom mencetak laba bersih Rp 2,5 trilyun.
Sedangkan rapor Mobile-8 (Fren) merah, karena pendapatannya menurun drastis, ditambah kerugian karena kurs. Tahun lalu, perusahaan milik Kelompok Bimantara ini rugi Rp 1 trilyun dan hingga kuartal pertama tahun ini tekor Rp 180 milyar.
Kinerja oke ditunjukan Bakrie Telecom yang tetap mencetak keuntungan Rp 136,8 milyar, meski mengalami rugi kurs Rp 44,5 milyar. Kerugian itu lebih disebabkan belanja modal karena utang dolarnya dilindungi dengan hedging.
**
Perusahaan telekomunikasi di Indonesia memang sangat rentan mengalami rugi kurs. Ini terjadi, selain karena utang bermata uang dolar, dari sisi belanja modal juga masih sangat bergantung pada impor. Setiap tahun, sebagiah besar belanja modal operator telekomunikasi dinikmati pabrikan luar negeri. Nilai benaja modal tahun lalu mencapai Rp44 trilyun dan tahun ini sekitar Rp 70 trilyun.
Menarik minat investor untuk mendirikan pabrik komponen di Indonesia juga bukan perkara gampang. “Kita sudah meminta sejak dulu, tapi volume kita masih kalah untuk adanya pabrik komponen di sini,” kata Hasnul. Jumlah pelanggan di Indonesia hanya 150 juta. Sedangkan di Cina, untuk mendapatkan angka itu hanya dibutuhkan waktu setahun.
Untuk menekan belanja modal, cara yang bisa dilakukan, antara lain, menjalin kerja sama dengan operator lain dalam pemakaian tower dan fiber optik secara bersama-sama. “Dulu, itu tak boleh, kemudian XL menjadi pelopornya,” ujar Hasnul. Hasilnya, XL mendapat keuntungan dari biaya sewa. Operator lain pun untung karena biaya investasi berkurang.
IRWAN ANDRI ATMANTO
0 komentar:
Posting Komentar