07 Mei 2009 Tender BWA I Regulator Siapkan Skenario Alternatif

Menanti Peran Perangkat Lokal

Koran Jakarta – Proses tender akses nirkabel pita lebar untuk merealisasikan teknologi Wimax telah dimulai. Namun, kesiapan perangkat lokal masih dipertanyakan.

Kesiapan perangkat produksi lokal menghadapi kedatangan teknologi Worldwide Interoperability for Microwave Access (WiMax) telah diuji coba pada awal Mei lalu. Secara teknis, perangkat lokal telah mampu mengantarkan data sesuai standar yakni 9-10 Mbps dengan kanal yang digunakan 3,5 MHz.
Pergelaran teknologi yang disebut-sebut sebagai generasi keempat dari broadband Internet atau 4G itu dilakukan melalu perangkat milik PT Hariff dan TRG di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan yang dipertunjukkan adalah video conference, video multicast, dan internet phone (VoIP).

“Meskipun ada yang bilang seharusnya bisa mencapai 75 Mbps, tetapi itu jika digunakan kanal sebesar 20 MHz dan biasanya di unlicensed band,” kata Praktisi Telematika Gunadi Dwi Hantoro di Jakarta, belum lama ini.

Demo memang berjalan baik, namun banyak kalangan yang masih mempertanyakan kesiapan perangkat lokal untuk digunakan secara komersial. Karena trafik saat uji coba berbeda ketika dikomersialkan. Belum lagi, kesederhanaan perangkat di sisi konsumen.

Konsumen yang telah terbiasa menggunakan perangkat yang sederhana dan mudah untuk dipindah-pindah seperti USB dongle dan PCMCIA untuk layanan 3G saat ini, dengan WiMax produksi anak bangsa pelanggan diminta kembali untuk menggunakan perangkat terminal outdoor (antena) yang besar dan harus dipasang menetap di atap-atap rumah.

Namun begitu, Chief Executive Officer Infracom Telesarana Atmadji Soewito menyebutkan uji coba tersebut menunjukkan perangkat lokal memapu menjawab kesempatan yang diberikan oleh pemerintah selama ini melalui aturan yang memproteksi secara tidak langsung pemain lokal di teknologi WiMax.

“Pemerintah memilih menggelar tender di 2,3 GHz dan teknologi nomadic itu kan untuk melindungi pemain lokal,” kata pria yang ditunjuk menjadi konsultan oleh Hariff itu.

Untuk diketahui, WiMax terdiri dari dua standar yang berbeda sama sekali. Pertama, menggunakan IEEE 802.16d-2004 untuk Fixed atau Nomadic WiMax dengan teknik modulasi Orthogonal Frequency Division Multiples (OFDM).

Kedaua, IEEE 802.16e-2005 untuk Mobile Wimax dengan teknik modulasi Spatial Orthogonal Frequency Division Multiplex Access (SOFDMA).

Atmadji memprediksi dua tahun ke depan perangkat lokal itu hanya kebagian 25 persen dari seluruh ekosistem atau sekitar 2,5 juta dollar AS.

Dengan kesiapan perangkat lokal yang belum memadai dalam mendukung teknolgi Wimax, penundaan tender tender akses nirkabel pita lebar (Broadband Wireless Access/BWA) digulirkan.

“Penyedia perangkat lokal belum mampu memenuhi permintaan pasar. Jika dipaksakan, walau ada regulasi yang mendukung, dikhawatirkan teknologi ini jalan di tempat,” kata Senior Business Advisor Talent Source, Suryatin Setiawan.

Dia memberi contoh, harga SS yang mencapai 300 dollar AS dan keterbatasan produksi yang tidak mencapai skala ekonomi. Padahal, untuk satu tahun pertama dibutuhkan sekitar satu juta unit perangkat agar bisnis berjalan.

Belum lagi penyedia konten lokal yang belum mampu berbicara banyak di dunia maya. Selama ini, akses Internet kebanyakan untuk konten asing seperti facebook atau Yahoo.
“Jika begini apa bedanya dengan 3G, kita malah menyediakan jalan untuk menikmati konten asing. Lantas penyedia konten lokal dapat apa?

Padahal, saat pemenang tender ditentukan maka otomatis operator akan diikat oleh lisensi modern dengan sejumlah parameter yang harus dipenuhinya, seperti pengembangan jaringan dan pembayaran biaya frekuensi.

“Nah, seandainya dalam membangun jaringan, perangkat lokal tidak mampu mendukung, tentunya operator tidak mau disalahkan. Bisa jadi jalan keluar yang diminta memperlonggar aturan tentang kandungan lokal. Jika sudah begini, grand design yang dibuat pemerintah untuk membangun industri lokal gagal,” katanya.

Suryatin mengatakan sudah saatnya Indonesia sebagai pemilik pasar keempat terbesar yang mendikte dunia, layaknya China dan India. Bukan sebaiknya malah didikte untuk mempercepat keharian Wimax dan berakhir dengan kegagalan karena lahirnya prematur.

Skenario Alternatif
Ketidaksiapan pemain lokal dalam mengahadapi teknologi Wimax juga telah diantisipasi regulator. Seperti diungkapkan, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, skenario alternatif telah disiapkan, andaikan pemain lokal tidak siap untuk membangun ekosistem WiMax.

Skenario tersebut berupa lelang tetap digelar namun hanya untuk menentukan pemenang administratif. Sedangkan untuk tahap implementasi dilakukan secara terpisah.

“Itu skenario terburuknya. Tetapi seharusnya ditanyakan langsung ke para pemain lokal. Benar tidak mereka belum siap. Jangan terjebak dengan kepentingan asing dalam melihat satu masalah,” katanya.

Pemerintah, menurut dia, bersikap realistis terhadap kandungan lokal dalam teknologi Wimax. Salah satunya dengan tidak memaksakan perangkat kerasnya dibuat di Indonesia. “Manufaktur lokal banyak yang mati suri. Pemerintah itu mendorong software harus dikuasai oleh pemain lokal. Hal ini karena 60 persen dari perangkat nantinya didominasi komponen tersebut,” katanya.

Sementara itu, Direktur TRG Sakti Wahyu Trenggono menegaskan tidak ada kata gentar sama sekali untuk membangun ekosistem Wimax. Apalagi investasi puluhan miliar rupiah sudah ditanam.

“Kenapa harus ditunda? Indonesia harus berani mengambil risiko layaknya China dengan Huawei. Jika memikirkan bisnisnya terus, tidak akan ada itu namanya produk lokal berkibar,” tegasnya.

Investasi besar juga telah dikeluarkan Hariff. Dana sebesar 10 miliar rupiah telah digelontorkan agar bisa menjadi prototipe. “Itu belum sampai produk massal. Penelitiannya yang mahal. Jika memang ada penundaan, kita akan alihkan untuk radio nantinya,” tandas Atmadji. *dni/E-2

0 komentar: