Oleh Arif Pitoyo
Wartawan Bisnis Indonesia
Ironis, pada saat pemerintah sangat gencar mengembangkan produk manufaktur telekomunikasi lokal agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi produk luar negeri, justru frekuensi yang merupakan aset sangat berharga bagi negara, sebagian besar dikuasai asing.
Jadi, bukan hanya produk telekomunikasi dan handset asing saja yang membanjiri pasar Indonesia melainkan juga pulsa dari operator telekomunikasi yang sebagian besar dikuasai asing.
Belum lagi komitmen operator ‘asing’ tersebut dalam memajukan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia yang juga cukup diragukan, terbukti sejumlah operator yang notabene dikuasai investor negara lain malah menunjukkan tanda-tanda mundur dari konsorsium Palapa Ring.
Lalu masalah penyelenggaraan WiMax atau Internet nirkabel pita lebar, yang di awal penggelaran tendernya sangat memihak kepentingan pengusaha lokal, tetapi di pertengahan justru berbalik mendukung masuknya operator yang dikuasai asing untuk bisa ikut serta dalam tender, dan bisa menjadi pemenangnya.
Anggota Dewan Pengawas Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Teddy A. Purwadi mengungkapkan penyelenggara jasa Internet (PJI) merupakan industri menengah kecil sehingga cocok untuk menyelenggarakan WiMax.
“Industri kecil menengah hanya memiliki batas kredit dari perbankan sampai Rp200 miliar, tidak bisa melawan operator telekomunikasi incumbent yang banyak didominasi asing yang memiliki aset sampai miliaran US dolar,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, saat ini pengguna jasa telekomunikasi telah mencapai angka lebih dari 130 juta konsumen. Apabila diasumsikan ARPU (average revenue per user) adalah Rp30.000 per bulan atau Rp1.000 (seribu rupiah) per hari, nilai perputaran omzet pengisian pulsa bisa mencapai Rp130 triliun per hari.
Telekomunikasi kerakyatan
Mazhab ekonomi kerakyatan pasti bisa mengklaim bahwa perkembangan bisnis telekomunikasi saat ini sudah merakyat dan pas dengan tujuan akhirnya.
Pencapaian jumlah 130 juta pelanggan di bidang telekomunikasi (hampir 60% dari penduduk Indonesia) merupakan suatu prestasi yang luar biasa dan hanya bisa mencapai dengan pendekatan kerakyatan.
Di sisi lain, jika dilakukan pendekatan dengan teori ekonomi neoliberal (ekonomi modern), maka total perputaran omzet Rp130 triliun per hari tidak mungkin terjadi tanpa peran pasar bebas yang mengutamakan kebebasan berkompetisi dan mengandalkan permodalan.
S. Teguh, praktisi telekomunikasi dari PT Emslanindo Pratista Mahardika, berharap presiden dan wakilnya nanti dapat memberikan perhatian khusus akan perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia, karena perkembangan bisnis telekomunikasi di Indonesia setiap hari dinilai semakin bebas dan cenderung liar.
Meski sektor industri telekomunikasi mampu mendatangkan investasi asing cukup berarti bagi perekonomian Indonesia, sebagian masyarakat lupa bahwa investasi tersebut tanpa disadari menyedot devisa bangsa Indonesia sendiri sebesar Rp130 triliun per hari.
“Operator telekomunikasi saat ini lebih memilih mitra bermodal kuat dibandingkan bermitra dengan pebisnis lokal,” ujar Teguh yang juga pemilik dealer kartu prabayar tersebut.
Menurut dia, saat ini penyebaran penjualan pulsa sudah mulai dilirik oleh para hypermarket dan perbankan yang notabene telah didominasi pihak asing dan jauh dari prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan yang banyak diusung para capres dan cawapres. (arif.pitoyo@bisnis.co.id)
0 komentar:
Posting Komentar