08 Oktober 2009 Layanan Pita Lebar | Pemerintah Perlu Dukung Pembangunan Infrastruktur

Membuka Akses Internet Berkualitas Tinggi

Koran Jakarta – Jumlah pengguna layanan pita lebar jaringan tetap di Asia Pasifik terus meningkat seiring agresivitas pembangunan infrastruktur pendukungnya. Namun tidak demikian dengan di Indonesia.

Lembaga konsultan Frost & Sullivan menyebutkan jumlah pengguna layanan pita lebar jaringan tetap (fixed broadband) di Asia Pasifik mencapai 182 juta orang hingga akhir tahun ini atau meningkat 17,3 persen dibandingkan 2008. Sedangkan pada 2010 diperkirakan pengguna fixed broadband di Asia Pasifik menembus angka 212,6 juta pelanggan.

Peningkatan tersebut karena gencarnya pemerintah lokal di Asia Pasifik membangun infrastruktur seperti proyek broadband kecepatan tinggi Malaysia (HSBB), jaringan broadband nasional Australia (NBN), dan rencana induk iN2015 Singapura.

Istilah broadband bagi pengguna Internet diartikan pipa yang lebar untuk koneksi Internet. Akses yang dihasilkan jauh lebih cepat hingga 10-20 kali lipat dibandingkan modem dial-up yang hanya mampu mengantarkan kecepatan di kisaran 30 hingga 50 kilobyte per second (Kbps).

Pasar fixed broadband di Asia-Pasifik, termasuk Jepang, menurut Frost & Sullivan, akan tumbuh 14,1 persen setiap tahun pada periode 2009-2014 dan akan mencapai 342,9 juta pelanggan pada akhir 2014.

Pada tahun yang sama penetrasi pemakaian broadband rumah tangga di kawasan Asia Pasifik akan bertumbuh sebesar 37,2 persen, dari hanya sekitar 18 persen, dari hanya sekitar 18 persen tahun lalu, dengan estimasi pendapatan akan mendekati 69 miliar dollar AS.

Data terbaru International Telecommunication Union (ITU) menyebutkan hingga saat ini ada 500 juta pengguna fixed broadband di dunia. China tercatat sebagai pasar terbesar, 6,2 pelanggan dari 100 orang.

Di Indonesia, fixed broadband diperkirakan digunakan 1,5 juta pelanggan. Penyedia jasa ini di antaranya Telkom, Bizznet, First Media, Melsa Net, Indosat, dan Lintasarta.

“Jasa ini berbeda dengan mobile broadband. Di fixed broadband terdapat jaminan kualitas dan kecepatan yang benar-benar broadband. Jadinya, harga layanan lumayan mahal, tentunya mereka yang benar-benar butuh Internet yang akan sanggup membayar,” ungkap anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, Rabu (7/10).

Berdasarkan catatan, jasa pita lebar ini dibanderol lumayan besar. Bisa mencapai 500 ribu hingga 700 ribu rupiah per bulan dengan jaminan kecepatan broadband yang stabil.

Mahalnya harga layanan membuat penetrasinya masih rendah karena pelanggan sangat sensitif dengan tarif. Ditambah, daya beli masyarakat yang juga rendah.

“Apalagi masyarakat belum tune in dengan gaya hidup masyarakat modern yang tidak bisa lepas dari Internet. Jika keadaannya begini, pertumbuhan jasa ini tak lebih dari 30 persen,” jelas Direktur Utama Melsa Heru Nugroho.

Ketua Bidang Pengembangan Teknologi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Taufik Hasan mengungkapkan minimnya penggelaran infrastruktur dan konten domestik yang terbatas adalah pemicu utama.

“Akhirnya tarif menjadi mahal karena harus membayar bandwidth akses ke luar negeri,” kata dia.

Namun, praktisi telematika Suryatin Setiawan punya pendapat lain. Menurut dia, sekarang ini yang penting adalah akses Internet. “Konten memang nantinya akan pegang peranan dalam pertumbuhan traffik tetapi sekarang belum.”

Potensi Pasar
Guna mendorong pertumbuhan fixed broadband di Indonesia, pendataan yang akurat tentang potensi pasar dan memainkan inovasi pemasaran dinilai perlu dilakukan.

“Sudah jelas jasa ini buat segmen atas. Masalahnya ada kecenderungan operator hanya menggarap wilayah yang itu-itu saja karena minim data. Selain itu, bisa dipikirkan untuk mengoptimalkan pengguna TV kabel beralih ke fixed broadband karena inilah pasar potensial yang paling bisa digarap,” kata Nonot.

Selain itu, investasi yang dikeluarkan untuk membangun infrastruktur fixed broadband lumayan besar terutama untuk rute yang belum pernah ada galian.

“Membentangkan kabel itu tidak gampang walau harga serat optik makin murah. Apalagi jika di wilayah itu sebelumnya tidak ada rute, pekerjaan sipilnya bisa mahal,” kata dia.

Taufik menambahkan pemerintah harus bisa menyediakan infrastruktur layaknya di luar negeri untuk mendorong harga menjadi murah. Selain perlu adanya konten yang relevan dengan pengguna yang dibidik.

Di sisi lain, masalah penyediaan jaringan tulang punggung pita lebar di lingkup nasional juga mendesak diinisiasi oleh pemerintah.

“Penyediaannya bisa oleh operator atau bekerja sama dengan pemerintah. Namun untuk daerah yang belum komersial, selayaknya pemerintah turun tangan atau memberi imbalan insentif bagi operator yang mau membangun di kawasan kering,” kata Suryatin.

Selain itu, pemerintah harus mulai membudayakan meng-online-kan proses sederhana dan dasar di instansi negara. Misalnya, kewajiban pelaporan bertingkat dari daerah ke pusat melalui e-mail dan web serta layanan untuk masyarakat seperti KPT, SIM, STNK, BPKB bisa mudah dilakukan secara online.

“Di luar negeri itu bisa maju jasa fixed broadband karena pemerintahnya memiliki komitmen pembangunan infrastruktur dan memberikan contoh bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari bagaimana bermanfaatnya teknologi broadband,” tandas dia. ■ dni/E-2

0 komentar: