23 November 2009 Metamorfosis bisnis di balik nama Axiata

Oleh Sutarno
Wartawan Bisnis Indonesia

What’s in a name?” penggalan lirik drama gubahan William Shapespeare itu selalu diidiomkan orang untuk menafikan arti sebuah nama. Idiom itu mungkin muncul di benak pelanggan seluler XL ketika operator kesayangan mereka berganti nama menjadi PT XL Axiata Tbk.

Senin 16 November lalu, PT Excelcomindo Pratama Tbk yang lebih akrab dengan panggilan XL meresmikan nama barunya melalui rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB).

Secara teknis, perubahan nama itu leibh berdampak internal pada penyesuaian anggaran dasar perusahaan. Selebihnya, pelanggan tidak akan merasakan perubahan signifikan. Kata Shakespeare, “What’s in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet.”

Memang, diganti dengan nama apa pun, semerbak wangi bunga mawar tidak akan berubah. Seandainya penggubah drama Romeo and Juliet itu hidup pada zaman sekarang dan menjadi pelanggan XL Axiata, mungkin penggalan dialog drama itu bisa dipelesetkan menjadi “apalah arti tambahan nama Axiata, toh nomor pelanggan dengan awalan empat angkat 0817-0819 tidak ikut diganti.”

Pergantian nama itu tidak telepas dari restrukturisasi induk perusahaan XL Axiata, yaitu Axiata Group Berhad dari Malaysia.

Perusahaan itu menguasai 83,8% saham XL Axiata-melalui anak perusahaannya Indocel Holding Sdn Bhd. Pemegang saham XL Axiata lainnya adalah Etisalat International Indonesia (15,97%) dan publik (0,23%).

Axiata group juga baru berganti nama Maret 2009, yang sebelumnya lebih dikenal danan TM (Telecom Malaysia) International.

Axiata Group memutuskan menggunakan nama baru tersebut untuk melepaskan diri dari bayang-bayang ‘mantan’ induk perusahaannya, yaitu Telecom Malaysia (TM), karena telah disapih atau spin off sejak April 2008.

Dengan pemisahan tersebut, TM lebih berkonsentrasi menggarap layanan telepon tetap, Internet, teknologi informasi. Adapun TM International (yang kemudian berubah nama menjadai Axiata Group Berhad) diberi keleluasaan untuk mengembangkan bisnis seluler.

Pilihan kata Axiata merupakan dirivasi dari bahasa Barat dan Timur yang kemudian diformat mendekati kata Asia. Kalau ditelusuri dari bahasa Yunani, kata axia atau axio memiliki arti manfaat. “Visi kami adalah memajukan bangas Asia,” tulis siaran pers Axiata Group 2 April 2009.

Emas terpendam
Ada hal yang menarik di balik pergantian nama tersebut, karena hal itu hanyalah tanda yang tampak di permukaan dari proses metemorfosis raksasa bisnis telekomunikasi Malaysia.

Pijakan bisnis seluler Axiata Group di Malaysia-melalui Celcom (Malaysia) Berhad-sudah menunjukkan tanda-tanda kejenuhan. Celcom harus bertarung dengan Maxis dan DiGi untuk memperebutkan pasar domestik berpenduduk 28,31 juta per Juli 2009, menurut data Jabatan Perangkaan Malaysia atau Badan Statistik Malaysia.

Hingga Juni tahun ini, Celcom memiliki pelanggan sebanyak 9,7 juta nomor, jauh dibawah Maxis yang menguasai 40% pasar dengan 11,4 juta pelanggan. Adapun DiGi menempati peringkat ketiga dengan 7,11 juta pelanggan.

Total pelanggan dari tiga operator seluler tersebut mencapai 28,2 juta atau sekitar 99,6% dari total jumlah penduduk Malaysia.

Itulah sebabnya mantan anak usaha Telekom Malaysia itu jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang untuk mencari celah kejenuhan dengan merambah pasar regional Asia. Gebrakan pertama dilakukan di Bangladesh pada 1995 dengan membeli Aktel yang kemudian berganti nama menjadi Axiata Bangladesh (AxB). Saat ini Axiata menguasai 70% saham AxB.

Hingga kini, sayap bisnis Axiata Group sudah merambah 9 negara tetangga, yaitu Indonesia (XL Axiata), Srilanka (Dialog), Bangladesh (AxB/Axiata Bangladesh), Kamboja (TMIC/Telekom Malaysia International Company), India (IDEA), M1 (Singapura), Iran (MTCE), Pakisatan (Multinet), dan Thailand (SAMART).

Tiga anak usaha pertama merupakan unit usaha bidang telekomunikasi seluler dan menjadi primadona. Sekitar 48,5% dari total omzet Axiata Group sebesar Rp6.030 juta (16,8 triliun) pada kuartal II/2009 disumbangakan oleh XL Axiata, Dialog, dan AxB.

Bisnis seluler Celcom, memberikan kontribusi omzet 49,7%. Adapun kegiatan bisnis di Kamboja, Thailand, Singapura, India, Pakistan, dan Iran hanya memberikan kontribusi omzet yang sangat kecil, yaitu 1,8% selama April-Juni tahun ini.

Jika dilihat dari perspektif kontribusi omzet, XL Axiata merupakan ladang emas yang belum digali secara maksimal. Maklum, dengan 24,7 juta pelanggan (per Juni 2009), XL Axiata hanya mengontribusi 32% omzet. Bandingkan dengan Celcom yang hanya memiliki 9,7 juta pelanggan seluler (plus 420.000 pelanggan broadband seluler), tetapi kontribusinya mencapai 50%.

Rupanya, hal itu terkait dengan perolehan ARPU (average revenue per user) yang sangat timpang antara kedua unit bisnis seluler itu. ARPU bulanan pelanggan prabaya Celcom per Juni 2009 mencapai Rp41 (sekitar Rp114.000) atau hampir empat kali lipat dari ARPU prabayar XL Axiata. Adapun ARPU pascabayar Celcom mencapai RM97 (sekitar Rp270.000) atau 1,7 kali lipat dari ARPU pascabayar XL Axiata.

Namun, jangan lupa, masih sangat terbuka peluang menambah basis pelanggan XL Axiata karena penetrasi seluler di Tanah Air baru 76% dari total 230 juta penduduk, sementara Celcom harus berhadapan dengan pasar domestik yang sudah jenuh.

Kalau saja XL Axiata juga mampu ‘memancing’ pelanggan prabayarnya untuk menambah belanja pulsa bulanan, bukan tidak mungkin kontribusi XL Axiata menyalip Celcom.

Apakah momentum perubahan nama XL Axiata ini akan diikuti dengan gebrakan untuk menggenjot basis pelanggan dan mendongkrak ARPU? Kita tunggu saja. (sutarno@bisnis.co.id)

0 komentar: